Postingan ini khusus membahas sebuah film yang sempat saya tonton bersama dengan para mahasiswa kritis yang tergabung dalam The Ideas Club, calon UKM Penalaran. Tepatnya satu minggu yang lalu, pada hari Sabtu, 17 September 2016, kita (saya, Bian, Ndari, Yogi, dan para mahasiswa yang cukup berani untuk merintis UKM Penalaran ini) menonton sebuah film. Film apa? Lihat judul postingan kali ini. ‘Le petit Prince’.
Eits, tunggu. “Le petit prince” bukanlah film yang
kami tonton, melainkan judul tersebut merupakan sebuah novel yang menjadi
inspirasi untuk sebuah film animasi besutan Mark Osborne (manusia dibalik Kung
Fu Panda, dan The Spongebob SquarePants Movie) yang dinamai: “The Little Prince”.
Sebelum kita melihat ke film “The Little Prince” yang akan saya ulas dengan
berbagai opini dan pencerahan yang saya dapatkan, saya akan menjelaskan kembali
beberapa latar belakang novel yang sempat saya serap dari Ndari.
“Le petit Prince” dikarang di tahun 1943 oleh
seseorang pilot berkebangsaan Perancis yang bernama Antoine de Saint-Exupéry.
Antoine menulis kisah ini dengan kondisi latar belakang yang cukup tidak biasa.
Antoine menulis kisah ini sambil menjalani proses perceraian dengan istrinya. Namun,
inspirasi kisah ini tidak muncul di tempat yang biasa. Kisah ini terinspirasi
oleh kejadian yang dialami Antoine ketika dia jatuh di gurun Libya, tahun 1935
silam, dan “hampir mati kehausan selama 3 hari” (Wikipedia, 2016). Dalam
pengalamannya selama 3 hari di padang gurun, dia berkhayal dengan tokoh yang
berada di dalam imajinasinya, yang bernama: “The Little Prince” yang akan menjadi
tokoh protagonis dalam novel ataupun filmnya.
Saya tidak akan menceritakan banyak tentang novel,
ataupun filmnya. Karena kalau saya cerita banyak, maka tidak akan muncul sebuah
pencerahan. Lalu apa esensi saya nulis postingan ini? Simpel. Karena 1) saya ingin
membagikan 1 poin yang saya dapatkan di film ini, dan 2) saya ingin anda tahu
kenapa saya memutuskan untuk share tentang hal ini.
1.) Intinya apa
sih film ini?
Cerita ini dimulai ketika ada sebuah anak kecil yang
mendaftar di sebuah akademi ternama. Tema ini sudah terlihat dengan adanya
pembawaan ini. Seorang karakter yang menjadi kepala sekolah berkata: “What will you be when you has grow up?” artinya:
“Kamu ingin menjadi apa ketika kamu dewasa?” Adegan ini menyentil tentang
kedewasaan.
Tidak lama kemudian, scene ini muncul. Disitu ibunya
juga menekankan kepada anaknya bahwa masa depan itu penting, dan mempersiapkannya
sejak sekarang adalah hal yang tidak kalah penting. Kemudian ditutup dengan
ibunya yang berkata: “You will be a
wonderful grown up.” Atau yang dapat diterjemahkan sebagai: “Kamu akan
menjadi orang dewasa yang hebat.”
Dari kedua scene yang terjadi di 8 menit awal, dengan
jelas saya dapat menyimpulkan bahwa film ini mengambil fokus: “Seorang anak yang berusaha menjadi dewasa.”
Fase ‘anak-anak’ dan fase ‘dewasa’. Itulah transformasi yang ingin disampaikan
dalam film ini. Lalu apa yang saya dapat di film ini?
“Jadilah dewasa
tanpa melupakan sisi anak-anakmu.”
Saya pernah membaca dalam sebuah buku. “Yang membuat seorang anak dan seorang
dewasa sering bertengkar bukanlah karena perbedaan umur dan susah memahami,
melainkan karena pola pikir. Orang dewasa cenderung pragmatis / realis, dan anak-anak cenderung idealis.”
Bagaimana tidak, ketika kita masih kecil kita belum
memiliki pengalaman apa-apa tentang dunia, dan cukup diwajarkan apabila kita
masih berandai-andai.
“Aku
pingin begini, aku ingin begitu, ingin ini ingin itu banyak sekali,” Nobita,
dalam Doraemon.
Sebaliknya ketika kita dewasa, kita sudah memiliki
banyak pengalaman, dan hal pengalaman tersebut membuat kita berhati-hati dalam
bertindak, karena wajar bahwa setiap orang tidak ingin gagal. Hal ini wajar,
dan bukan merupakan suatu hal yang abnormal.
Pragmatisme: (KBBI,
2016) /prag·ma·tis·me/ (n.) kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham,
doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya), bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia.
Jadi bagi seorang yang pragmatis, nilai-nilai
moral / kemuliaan sebuah ide tidaklah penting. Yang penting adalah bagaimana
sebuah ide mampu diterapkan dan berguna bagi kepentingan bersama. Singkatnya, REALITA > MIMPI.
Idealisme: (KBBI,
2016) /ide·al·is·me/ /idéalisme/ (n.) 1 aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya
hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami; 2 hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna;
Bagi seorang yang idealis, semuanya harus
berjalan seperti yang ‘seharusnya’. Bagaimana manusia itu bertindak, ‘seharusnya
seperti ini. Seharusnya seperti itu.’ Itu adalah kata-kata yang biasanya diucapkan
oleh seorang idealis. Mereka memiliki sebuah patokan standar yang akan mereka
gunakan untuk menghakimi realita. Singkatnya, REALITA < MIMPI.
Dalam cerita di dalam film yang asik ini, kalian akan
sering menemukan simbolisasi / makna-makna yang sangat mendalam tentang hal
ini. Salah satunya yang saya ambil adalah sisi idealis-realis ini. Yang dimaksud dengan tidak melupakan sisi
anak-anak saat kita tumbuh dewasa adalah,
“Ketika kita dewasa, jangan sekedar realis. Milikilah idealisme.”
Tan Malaka sendiri bilang bahwa “Idealisme adalah
kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Dan yang saya tangkap dari
film ini, janganlah seperti demikian! Jangan
hentikan idealismemu di masa muda, namun wujudkanlah idealismemu dalam bentuk
yang nyata (realis). Kenapa?
Albert Einstein adalah penemu teori Relativitas yang
sangat revolusioner. Dalam Wikipedia (2016) tercatat: “Consequences of this include the time-space frame of a moving body
appearing to slow down and contract (in the direction of motion) when measured
in the frame of the observer.“ Singkatnya: semakin cepat seseorang bergerak
mendekati kecepatan cahaya, semakin dia bergerak perlahan dan memuai (apabila
diobservasi dari luar).
Sedikit yang tahu bahwa Einstein pernah dicap gila
oleh ilmuwan sebangsanya. Idealisme Einstein
terhambat dengan Pragmatisme ilmuwan-ilmuwan
yang berkata bahwa hal tersebut adalah hal yang tidak mungkin, belum dibuktikan
secara sains, hanyalah sebuah fantasi. Namun apa yang terjadi? Einstein tetap
berjuang untuk terus mewujudkannya. Mewujudkan
idealismenya.
Einstein mewujudkan
idealismenya. Atau dengan kata yang sangat-sangat-sangat sederhana.
Einstein MEWUJUDKAN MIMPINYA.
Simple but powerful, tapi itulah yang terjadi. Einstein tidak duduk diam dan terus bermimpi, namun bangun dan berusaha
membuktikan / mewujudkan mimpinya tersebut. Simpel kan?
MEWUJUDKAN MIMPI, atau menjadi idealis-realis, adalah salah satu ciri orang dewasa yang berbeda dan PASTI akan mencetak sejarah. Orang
dewasa yang tidak melupakan ciri-ciri keanakannya.
2.) Kenapa saya
nulis ini?
Singkatnya temen-temen, essay saya yang sepanjang 5
halaman ini adalah cuplikan sederhana sebuah film (4 menit) dari 118 menit
sesungguhnya milik film tersebut. Kalian tahu apa yang didapatkan dari diskusi
kemarin bersama teman-teman The Ideas Club? Berikut cuplikan kata-kata yang
saya sempat catat ketika alur diskusi selama 60 menit berjalan dengan seru
kemarin.
.
.
.
“Toples itu seperti pemikiran kita. Ketika kita
numpahin toples itu isinya uang semua, artinya otak kita terkadang isinya uang
aja. Tapi ketika kita mencari lebih jauh, dan mau ada usaha lebih untuk lihat
dalam diri, bakal nemuin banyak hal yang lebih berharga daripada uang.” – Kautzar,
FBE 2014
“Takhta, pengakuan diri, dan kekayaan. Seringkali fokus kita sebagai
anak muda hanya tertuju kepada tiga hal mainstream tersebut.” – Bobby, FBE 2014
“Seringkali seorang kita terjebak dalam sistem. Sebuah aturan dalam
sistem dan tuntutan yang ketat untuk sukses membuat kita menjadi orang yang tumbuh
hanya mentargetkan tiga goals tersebut.” – Levina, FBE 2014
“Bintang-bintang itu mensimbolkan bahwa seringkali orang menukarkan
mimpi demi uang. Hasil dari sistem (terkadang sistem pendidikan juga) yang
mengharuskan seseorang sukses untuk mencari uang.” – Daniel, FP 2015
“Seringkali orang tua lupa having
fun layaknya seorang anak. Setres terus.” – Dita, FT 2014
“Orang harus punya inisiatif untuk lolos dari tiga hal itu: Takhta,
pengakuan diri, dan uang. Ada inisiatif, ada daya beda kita dibanding
orang-orang lain.” – Agnes, FBE 2014
“Mengkritik soal raja, terkadang sistem politik seperti itu. ‘Aku bisa
semuanya, tapi tunggu waktu yang tepat’. Itu bahasa diplomatis para politisi yang
terkadang membuat orang terbuai dalam kalimat yang enak dan menipu dan enggan
untuk bertindak, tetapi malah menunggu.” – Sakti, FT 2014
“Anak kecil selalu berusaha keluar dari zona nyaman, sementara orang
dewasa selalu sebaliknya.” – Ambar, FT 2014
“Waktu kecil kita semangat bermimpi, seiring berjalannya waktu kita
sudah mulai melupakan mimpi dan terdoktrin dengan pendidikan dan kesuksesan.” –
Achan, FBE 2014
“Pas kita sendiri, kita bakal jadi diri kita sendiri. Waktu kita di
masyarakat, kita akan nampilin hal yang berbeda dibanding dengan di masyarakat.
Itu yang terjadi kalau kita ndak punya idealisme.” – Yogi, FT 2015.
Dan banyak lagi lainnya.
.
.
.
Siapa sih orang-orang yang menghasilkan quotes seperti
itu? Kata-kata tersebut tidak dilahirkan oleh seorang pemenang Nobel Prize seperti Albert Einstein.
Kata-kata hebat ini dihasilkan oleh mahasiswa-mahasiswa
non-graduate yang belum memiliki gelar, mahasiswa yang biasa kalian temui dan
ketahui namanya. Mereka adalah mahasiswa yang melihat film
ini, dan memilih menghabiskan malam minggunya untuk merefleksikan hal ini
bersama.
Kita, mahasiswa, bisa menjadi orang dewasa yang benar.
Best Regards,
Samuel Dimas Suryono
Powered by: The Ideas Club a.k.a. (Calon) UKM Penalaran