Siapa sih yang nggak kenal sebutan diatas? Mungkin puluhan kali, bahkan ratusan kali kata-kata tersebut kita dengungkan setiap harinya. Dulu sewaktu jaman kita kecil, pastilah kita sering mengungkapkan kata-kata semacam ini:
"Yuk kita hompimpa!"
"Duh gilirannya sapa ya? Hompimpa aja!"
![]() |
Hompimpa! retrieved from: https://www.goodnewsfromindonesia.org/uploads/post/large-hompimpa-permainan-rakyat-yang-sarat-nilai-b714d0d39bd073043d8b5412e1e4a8de.jpg |
Tak berhenti ketika kita masih sebiji jagung, kata-kata ini pun sering saya dengar di teman-teman saya ketika berkuliah semacam ini.
"He wedok iku ayu, timbang rebutan ayo hompimpa. Sing menang sing entuk." - (Arti: Hei, ceweknya cantik. Daripada rebutan, ayo hompimpa. Yang menang yang dapat)
"Hayo ini kelompok isi 5 orang, tapi cuman disuruh 4. Sapa keluar?" "Wes, biar adil hompimpa aja."
"Materine susah rek, sopo sing wani tanya?" *kemudian tunjuk-tunjukan* "Wes ben adil kene hompimpa ae." - (Arti: Materinya susah, sapa yang berani tanya? Yuk, biar adil kita hompimpa saja)
Singkatnya, makna hompimpa seringkali kita utarakan tanpa kita sadar artinya. Sama seperti mainan-mainan jaman dahulu seperti: “Njang panjang sing panjang dadi.” Atau lagu semacam: “Manuk’e manuk’e cucak rowo. Cicak rowo dowo manuk’e.” Seringkali kita utarakan tanpa mengetahui maknanya, hanya karena asik didengar. Hompimpa seringkali kita gunakan apabila kita memutuskan untuk mengundi siapa yang menang dan siapa yang kalah, secara adil karena setiap orang hanya mengetahui apa warna yang dia lempar, entah itu hitam atau putih.
Memang kok, kata hompimpa asik didengar karena mungkin menyenggol sedikit kenangan masa lalu kita yang masih belum mengenal kata mantan. Tapi tahukah kalau maknanya juga asik?
Terinspirasi dari video Ted Talks Indonesia di Agustus 2011 oleh Dr. Mohamad Zaini Alif, seorang doktor lulusan ITB di bidang permainan (lulus 2016, cek beritanya disini). Beliau merupakan pendiri dari Komunitas Hong yang bertempat di kota Bandung. Komunitas Hong sendiri merupakan suatu lembaga yang menyadari akan pentingnya mainan tradisional, baik dari segi ilmiah dan makna, utamanya terlebih pada dampaknya sebagai pendidikan anak. Tertarik? Cek videonya disini, dan cek lokasi komunitasnya disini.
![]() |
Dr. M. Zaini Alif . credit to: http://kabarkampus.com/2016/06/jadi-doktor-itb-berkat-permainan-tradisional/ |
Tapi fokus utama saya untuk menulis postingan ini pada hari ini bukanlah untuk menulis tentang dirinya. Tapi karena ada stimulus yang dia berikan kepada saya untuk memahami kata hompimpa tersebut. Mari kita telaah lebih lanjut.
Ini adalah kata-kata yang sering kita sebutkan sesuai dengan pelafalannya.
“Hompimpa alaiyum gambreng.”
Dan pelafalannya yang benar menurut huruf Sansekerta (bahasa yang sudah ada sejak 1700 SM. Wikipedia, 2016) adalah:
“Hong pim pa alaihong gambreng.”*
*) butuh validasi lebih lanjut
Namun karena lidah orang Jawa kuno susah menyebutkan kata hong, ini adalah kata-kata yang sudah bergeser selama ribuan tahun dan sesuai pemenggalan katanya:
Ini adalah deskripsi pemenggalan katanya berdasarkan hal yang saya tahu (masih butuh referensi dan penelitian lebih lanjut—penulis searching sekitar satu jam dan masih belum menemukan). Oleh karena itu penulis akan menggunakan kutipan yang dijelaskan oleh Dr. Mohamad Zaini Alif.
1. Zaini Alif (2011) berargumen bahwa Hom adalah Tuhan.
“Hom pim pa alaihom gambreng.”
Dan dari hal tersebut, dapat dilihat secara kasat mata bahwa ada 2 kata Tuhan disitu. Secara lebih lanjut lagi, meski belum ada penelitian yang pasti.
2. Ada beberapa pemisahan kata disini.
Yang pertama adalah: “Hom pim pa alaihom.” Dan yang kedua adalah “Gambreng.”
Zaini Alif (2011) berpendapat bahwa kata ‘Gambreng’ adalah kata penuh kejutan, yang menyadarkan, biasanya disertai hentakan kaki. Makna ini bersifat penuh kesadaran dan penuh peringatan. Apabila dibawa dalam konteks budaya yang digunakan dalam bermain, maka kata ini bisa berarti: “Mari bermain!”
Sementara makna kata yang terdapat dalam “pim pa alaihom”, bermakna: “dari .. kembali kepada Tuhan”. Sehingga kalau digabung “hom pim pa alaihom”, Zaini Alif (2011) berargumen bahwa hal itu bermakna: “Dari Tuhan kembali ke Tuhan.”
Sehingga berdasarkan penuturan Dr. Mohamad Zaini Alif, makna “hom pim pa alaihom gambreng” adalah:
Apabila direnungkan, hal ini sangatlah indah. Siapa sangka bahwa hal yang sering kita dengungkan bermakna seindah itu? Kalau kita tilik lagi, lihatlah ketika anak-anak mengayunkan tangannya dan melemparkan tangan hitam atau putihnya tidak ada yang tahu. Dari sini berdasarkan observasi saya melihat anak-anak bermain dan dialektika dalam diri saya, saya mendapat beberapa hal:
1. Menang atau kalah kita harus selalu tersenyum.
Tidak pernah ada orang yang melakukan hompimpa dan tidak menerima hasil yang dia terima. Karena dia sadar, bahwa itu adalah keputusannya sendiri untuk memilih hitam dan putih, dan dia sadar bahwa tangan yang dikeluarkan orang lain tidak berada dalam wewenangnya untuk dikendalikan. Apabila dikaitkan dengan konteks ketuhanan kita: “Apapun hasilnya, yuk bersyukur.'
2. Usaha manusia ada batasnya.
Ketika kita melakukan hompimpa, tidaklah pernah kita melakukan persekongkolan secara serius. “Eh yuk janjian hitam, eh yuk janjian putih.” Itu hanyalah semata-mata guyonan belaka yang disampaikan oleh teman-teman apabila ingin mengerjai teman lainnya. Tapi yang pasti, ketika tangan itu diayunkan dan ditaruh, apapun hasilnya tetap bergantung pada orang lain dan kita tidak bisa mengendalikan tangan orang lain. Apabila dikaitkan dengan konteks ketuhanan: “Jangan lupa, andalkan yang diatas.”
Keren kan? Ketika saya menulis ini saya tidak bisa berhenti berpikir. Sebegitu indahnya makna yang diberikan oleh sebuah hompimpa. Hal ini membuat saya terus menanyakan hal ini: “Untuk apa mencari kebijaksanaan atau ilmu hingga di ujung dunia, apabila salah satu ajaran terhebat ada disekitar kita?”
“Dari Tuhan kembali ke Tuhan.
Apapun hasilnya, yuk bersyukur.
Jangan lupa, andalkan yang diatas.
Mari bermain!”