1000 hari berduka.

1000.

2 April 2022, tepat 1000 hari papa pamit dan pergi.

Singkatnya dalam adat budaya orang Indonesia yang tinggal di pulau Jawa, 1000 hari bersifat peringatan terakhir setelah orang meninggal. Sebelum 1000 hari juga dikenal dengan beberapa peringatan lain, seperti 365 hari (satu tahun), 40 hari, 7 hari, dan 3 hari setelah orang yang kita kenal meninggal. Di tulisan ini, akan kubahas pemaknaan ku terkait 1000 hari saja.

Sering dikenal sebagai bahasa “Nyewu”, peringatan 1000 hari ini juga dipercaya menandakan waktu ketika semua tulang terkumpul bersama dan melebur dengan tanah.

Bagi saya yang beragama Kristen, ini tentunya momen spesial karena pada akhirnya papa saya akan memenuhi titah sang Pencipta. Ia sudah menjadi debu. 

Ini fenomena yang cukup aneh bagi saya—seorang calon Psikolog—dalam memaknai sebuah kedukaan. Aneh karena 1000 hari ini terasa panjang dan singkat dalam waktu yang bersamaan.

Panjang, karena kalau diingat-ingat sudah cukup lama buanget saya nggak mendengar suaranya. Nggak mendengar guyonannya. Nggak mendengar doa-doa yang dilantunkan saat malam hari. Nggak mendengar WA sederhana seperti “Mau pulang” dan sebagainya.

Tapi juga terasa singkat, karena teringat seperti kemarin saya masih mengantar papa di kursi roda. Seperti kemarin saya membelikan papa saya piring warna warni untuk menyemangati setelah terdiagnosis semi-solid glioblastoma. Seperti kemarin saya menemani dan memegang tangan ayah saya untuk menyemangatinya di kala diagnosa belum ditegakkan.

Duka itu panjang, tapi juga singkat.

Elisabeth Kubler-Ross, seorang psikiater blasteran Amerika-Swiss menjelaskan adanya 7 stages of grief (7 tahap kedukaan). Tahap-tahap ini dilalui ketika seseorang ditinggal oleh yang terkasih. Saya tidak akan membahas ini secara teknis—anda bisa googling sendiri—sebab artikel ini akan berfokus pada pemaknaan pribadi saya terhadap 1000 hari ini.

Tiga pemaknaan pribadi selama 1000 hari memeluk erat duka dan bersahabat dengan duka.

 

Pertama, rasa duka tidak pernah hilang.

Seiring berjalan waktu mungkin kita sebagai manusia merasa, “Ah, perlahan-lahan rasa sakit ini memudar dan akan menyembuhkan segalanya,” atau narasi semacam “Waktu akan menyembuhkan”. Saya bisa bilang bahwa hal itu nggak benar-benar juga. Waktu tidak akan menyembuhkan segalanya karena rasa duka nggak akan pernah benar-benar hilang.

Ada part-part tertentu dimana saya tahu papa sudah pergi, tapi ada part-part tertentu dimana saya merasa papa selalu ada. Di tengah-tengah.

Waktu saya mencapai ini dan itu, saya berpikir: “Oh seandainya papa masih ada, apa ya komentarnya?” Lalu kemudian saya sadar bahwa papa sudah nggak ada.

Tapi waktu saya ngobrol dengan beberapa orang, saya pun sering berpikir bahwa papa masih ada. Kehadirannya ada namun tiada. Orang-orang tahu bahwa papa sudah tidak ada, namun tidak pernah dilupakan.

Sesimpel itu. Duka akan selalu ada.

 

Kedua, duka tidak berkurang. Kitalah yang bertumbuh.

Beberapa waktu ini saya sering melihat sebuah quotes, “Grief doesn’t shrink over time. We grow around our grief.” Note: Bagi yang ingin membaca dengan detail tentang teori ini, bisa coba cek Tonkin’s Model of Grief.

Saya pribadi menyetujui pendapat ini dengan militan. Karena benar, rasa duka tidak mengecil. Tetapi kapasitas kitalah yang bertumbuh.

Kapasitas apa yang dimaksud? Kapasitas untuk menerima kenyataan, kapasitas kita untuk memaknai perpisahan, kapasitas kita untuk memaknai kehidupan, kapasitas kita untuk memaknai sebuah pertemuan.

Kapasitas inilah yang bertumbuh seiring berjalannya waktu, dan seakan-akan kita tidak lagi berduka.

 

Ketiga, ada beberapa pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab.

Whoa, dalem sekali yak. Tapi benar. Bagi saya ketika papa saya pergi, saya punya ratusan pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab.

“Dulu waktu semasa hidup, papa bahagia nggak ya?”

“Dengan segala pencapaianku sekarang, papa bangga nggak ya sama aku?”

“Apa ya kekhawatiran terbesarnya papa?”

“Mimpi apa ya yang belum diwujudkan papa?”

“Sebelum pergi, apa ya yang paling pingin disampaikan papa?

“Sekarang papa ada dimana ya?”

Berhenti dulu, nafas sebentar. Itu pertanyaan-pertanyaan yang membuat hati ini sedikit ‘goyah’ ketika menulisnya. Dan memang, pertanyaan ini tidak akan pernah bisa dijawab.


Akhir kata, dari tulisan ini saya pingin reminder ke teman-teman yang membaca.

Pertama, bagi mereka yang sedang berduka: tenang. Jangan berusaha keras untuk move on terlalu cepat. Duka tidak akan pernah hilang. Buat apa berupaya keras untuk move on dari orang yang sudah meninggal? Nikmati kedukaan itu, rangkul kedukaan itu dan bertemanlah dengannya. Jangan memaksanya pergi.

Kedua, buat mereka yang belum ditinggal: sering-sering ngobrol. Setiap momen itu sangat berharga, sangat kaya, dan penuh dengan banyak hal. Nikmati hidup, dan nikmati semua momen yang ada—sesederhana apapun dengan orang sekitar. Karena pada akhirnya, setiap orang pasti akan pamit. So, sebelum ditinggal—yuk ngobrol sebanyak-banyaknya! Nikmati setiap momen sebanyak-banyaknya!


Hidupilah hidupmu. Terus berjuang.

Sabtu, 2 April 2022

-sml


Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!