Makan secukupnya, tidur secukupnya, uang secukupnya. Itu jadi salah satu perspektif yang aku pahami pas usia-usia gini.
Dulu jaman-jaman masih pertama kali kerja, sangat terobsesi untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Sampai akhirnya aku sadar bahwa uang tidak bisa beli segalanya.
Saat itu papaku terdiagnosis sakit kanker, sampai dokter
bilang: “Ada uang 1 miliar dan 2 miliar pun aku gak bisa sembuhin papamu.” Aku
pun kaget, apa daya aku yang waktu itu hanya punya tabungan sekian. Sejak saat
itu aku merasa bahwa uang sebanyak apapun kok percuma ya?
Itu jadi titik balik perubahan perspektifku soal uang. Dulu
mengorbankan banyak hal supaya bisa cari uang sebanyak-banyaknya. Kesehatan,
kesejahteraan mental. Sekarang coba aku membalik fokusku.
Kesehatan nomor satu. Tidak lagi bekerja sampai terlalu
malam untuk kejar target. Yang bisa besok, besok. Bekerja terlalu keras,
ujung-ujungnya kalau sakit kita yang rugi. Tidak semua perusahaan mau membiayai
proses kita menuju sehat kembali.
Kesejahteraan mental nomor satu. Tidak lagi memikirkan
pekerjaan sampai stress banget. Sampai stress, lupa makan, tidak tidur. Emosi
sama orang-orang terdekat di sekitar kita. Ndak lagi. Tidak lagi. Tidak ada
pekerjaan yang seberharga itu sampai mengorbankan relasi kita dengan
orang-orang sekitar.
Cukup.
Seiring berjalan waktu, aku mulai belajar tentang kata
cukup. Pusing mikirin kerjaan? Cukup. Besok dipikir lagi. Capek soal kerjaan?
Cukup. Sekarang istirahat dulu.
Bayangkan kamu memegang sebuah gelas. Gelas ini isinya air.
Kamu angkat tanganmu keatas. Lalu coba ditahan selama 15 menit. Enteng. 30
menit. Mulai capek. 1 jam? 3 jam? 8 jam? Ya capek dan bahkan tangan bisa
cidera. Padahal hanya air lho. Segelas air. Berapa banyak kita minum air dalam
sehari? Kok bisa cidera?
Itu sebenarnya menunjukkan hal yang penting. Sekecil apapun
bebannya, kalau ditahan dengan waktu yang cukup lama ya lama-lama akan sangat
melelahkan.
Atur emosinya, atur energinya. Jadilah cukup. Kalau misal
sudah capek, cukupin dulu. Berhenti sebentar. Duduk, nikmati udara, bersyukur
terus lanjut lagi.
Itu yang mahal dari seorang manusia, memahami rasa cukup.
Tantangannya disitu. Kalau manusia memahami rasa cukup, ya gak bakal ada
koruptor.
Jadi manusia ada batasnya.
Pada intinya ingat kalau kita bukan superhero. Mungkin kita
merasa kita bisa melakukan dan harus melakukan banyak hal untuk sukses.
“Aku sandwich generation ko, semua orang bertumpu padaku.”
“Aku anak tunggal ko, orang tuaku berpegang padaku.”
“Aku 19 tahun ko, anak tertua. Papa meninggal dan jadi
tulang punggung keluarga.”
Justru itu.
Ketika kamu jadi tulang punggung ataupun
pilar keluarga, justru kamu harus mengenal kata cukup. Kerja-kerja-kerja,
tipes. Syukur-syukur kalau Tuhan ijinkan sembuh seperti sediakala. Gimana kalau
kerja kerasnya sampai memberi kondisi yang tidak bisa kita kembalikan?
Permanen?
Bayangkan kamu bekerja terlalu lelah, pulang kecapekan,
kecelakaan di jalan. Terluka permanen. Terus bagaimana lagi cara kamu bekerja?
Intinya adalah: jaga dirimu. Kenali kata cukup.
Kalau lagi capek, istirahat. Jangan memaksa diri. Manusia
ada batasnya.
Setelah istirahat? Berjuang lagi.
Selamat berjuang teman-teman!
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!