Sebagai seorang pengajar, ‘mengajar’ adalah proses yang menakutkan. Ada banyak faktor yang membuat proses ‘mengajar’ ini menakutkan. Bisa jadi yang ditakutkan adalah proses public speaking di kelasnya, proses menghadapi murid-murid, proses menghadapi ekspektasi, dan lain sebagainya.
Tapi buatku pribadi, hal yang paling menakutkan adalah ekspektasinya. Ekspektasi ketika seseorang diminta untuk bisa ‘menambah’ ilmu seseorang yang dia ajar / dia temui.
Dari dulu ekspektasi ini membuatku menyiapkan banyak hal
sebelum mengajar. Kenapa? Karena pastinya ingin memberi yang terbaik dong. Tapi
justru ketika proses menyiapkan ini jadi sebuah reminder, jangan lupa bahwa ada
satu pihak lain yang berperan dalam proses ‘mengajar’ ini, yakni mereka yang
‘diajar’.
Perpindahan Ego
Salah satu mindset yang harus dimiliki oleh seorang pengajar
adalah: “bukan aku tapi kamu”. Maksudnya apa? Fokus paling besar bukanlah sosok
pengajarnya, namun sosok murid/siswa. Seorang pengajar harus punya keberanian
untuk shifting ego, bahwa sosok terpenting bukan di pengajarnya, tapi kepada
mereka-mereka yang duduk di dalam kelas.
Sehingga pertanyaan pertanyaan seperti: “Bagaimana cara
membuat diriku menarik? Bagaimana cara membuat diriku didengar?” haruslah
bertransformasi menjadi “Bagaimana cara membuat mereka tertarik? Bagaimana cara
menjawab curiosity mereka?”
Ketika pertanyaan tersebut muncul, bagiku proses mengajar
tidak lagi menakutkan, ekspektasi terciptanya proses belajar yang baik akan dikerjakan
bersama baik oleh pengajar ataupun murid/siswa. Sehingga beban terbesar tidak
lagi jatuh kepada pengajar.
Menurutku tujuan proses belajar adalah memfasilitasi rasa curiosity / keingintahuan. Bukan sekadar memberi informasi terbaik yang kita ketahui berdasarkan cara kita. Kenapa? Ya karena sudah beda usia dong. Apa yang relevan bagi kita belum tentu relevan bagi mereka. Transfer knowledge pun harus dilakukan dengan relevan.
Pedagogi atau Andragogi?
Hal ini adalah perkembangan dari poin sebelumnya. Jika poin
sebelumnya kita berbicara untuk lebih fokus kepada siswa/murid yang akan
diajar. Disitulah kita akan diminta untuk mengenal terlebih dahulu. Pertanyaan
sederhana seperti, “Berapa jumlah peserta didik? Usia peserta didik? Latar
belakang peserta didik?” Akan membuat kita mendapatkan informasi penting
sehingga kita dapat merancang prosesnya.
Darisitulah teori-teori yang kita kenal juga dapat
memprediksi. Misalnya, jika ada perbedaan usia, maka salah satu mindset yang
bisa kita gunakan adalah pedagogi / andragogi.
Pedagogi: Pembelajaran pedagogi menekankan peran terbesar ada di guru. Guru dianggap
memiliki peran utama dalam memimpin proses pembelajaran. Sehingga pendekatan
pedagogi lebih cocok untuk anak-anak kecil yang belum mengetahui pentingnya
proses pembelajaran.
Andragogi: Pembelajaran andragogi menekankan peran terbesar ada di peserta didik. Guru
dianggap memfasilitasi proses belajar, karena peserta didik diminta untuk
memiliki peran aktif dalam mengarahkan proses pembelajaran.
Ini menunjukkan perbedaan cara belajar dari dua generasi
yang berbeda. Hal ini akan membuat kita memikirkan lebih detail lagi, “Apakah
metode yang saya gunakan sudah tepat untuk para peserta didik?”
Pada akhirnya, semua bergantung pada peserta
Keberhasilan proses pendidikan tidak bergantung pada pengajar saja. Namun juga pada peserta didik, yakni siswa/murid. Kenapa? Karena pengajar hanya berperan selama proses diskusi di sekolah.
Jika pengajar dapat
membangkitkan rasa curiosity atau rasa ingin tahu peserta, rasa tersebut akan
dibawa hingga rumah. Membuat peserta mengeksplorasi banyak hal-hal yang ia
ingin ketahui.
Pada akhirnya, jika dalam proses tersebut berjalan dengan
ideal dan baik, maka proses pertumbuhan knowledge akan berjalan dengan
maksimal.
Selamat mengajar para guru!
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!