27 November 2021, aku sedang mengikuti sebuah acara. Acara ini adalah acara ulang tahun ke 27 dari Warta Ubaya, salah satu organisasi tempatku dibesarkan dulu semasa mahasiswa S1. Di salah satu rangkaian acara, ada tiga games yang diikuti. Ini adalah ceritaku semasa mengikuti tiga games itu.
Pertama, mencari barang. Kita diminta untuk mencari barang
sesuai deskripsi yang sudah disebutkan oleh Lord Gamemaster. Games pertama ini
mudah sekali—karena saya jago mencari kesalahan orang lain, apalagi cuman
barang HAH ez. Games lainnya adalah tebak kalimat—karena kebetulan saya sedang
kedatangan tamu jadi nggak bisa mengikuti game ini.
Nah, game yang nggitili ini adalah game kedua...menciptakan
sebuah gambar sesuai dengan deskripsi yang disebutkan.
Karena saya dianggap gagal, maka mendapat hukuman. Hukumannya
cukup simpel. Mengambil foto selfie dengan gambar bawang putih (baca: edamame)
yang sudah dibuat. Ya terpaksa dengan segala keadaan untuk membuktikan
kejantanan saya sebagai seorang lelaki, saya harus menerima. Tapi dengan segala
totalitas seorang Samuel, daripada post aja yah sekalian aja saya tulis apa
yang saya pelajari dari sebuah bawang putih. Sebagai bentuk penyesalan dan
upaya berubah jadi lebih baik :)) weh weh weh
Tentang bawang putih
Allium sativum, atau bawang putih, adalah salah satu
tanaman yang paling terkenal di seluruh dunia. Berdasarkan sumber dari New York
Times,
beberapa negara seperti Itali, Korea, dan China bahkan sangat menggilai tanaman
berkulit putih ini.
Bawang putih telah menjadi bahan inti masakan khas negara
masing-masing. Garlic bread dari Itali, pickled garlic dari
Korea, serta chinese food mengandung banyak bawang putih. Melalui hasil survey
New York Times tersebut, setidaknya dalam sehari rerata masing-masing rumah
menghabiskan 8-12 siung bawang putih.
Dilansir dari healthline.com, bawang putih juga memiliki
khasiat kesehatan yang luar biasa,
dengan macam-macam efek kesehatan—masyarakat kuno Mesir, Yunani, Romawi, dan
Babilonia pun rutin mengonsumsi sejak jaman dulu kala.
Beberapa efek seperti membantu meringankan gejala flu,
menstabilkan tekanan darah, menghindarkan penyakit kardiovaskuler seperti
stroke, menurunkan total LDL sehingga menurunkan risiko serangan jantung, tingkat
antioksidan tinggi yang dapat mencegah Alzheimer dan Demensia.
Bawang putih juga memiliki efek detox untuk badan,
memperkuat tulang, dan dipercaya membuat hidup lebih sejahtera dan lama.
Efek yang luar biasa sehat ini didukung dengan fleksibilitas
masak yang tinggi—dapat diolah seperti black garlic, garlic oil, garlic pickle,
atau menjadi penyedap masakan, serta yang paling penting: rasanya lezat!
Sehingga tidak masuk akal bagi saya untuk tidak mengonsumsi bawang putih dengan
cara apapun. Ya, jadi itulah bawang putih dengan sejuta nikmat dan manfaatnya.
So, untuk menghargai dan menunjukkan kecintaanku terhadap
ciptaan Tuhan yang luar biasa ini...apa yang SamDim pelajari dari bawang putih?
Filosofi Bawang Putih #1: Buktikan lewat hasil akhir.
Kita banyak mendengar khasiat bawang putih. Tapi
sesungguhnya kita tidak pernah mendengar bawang putih menyombongkan khasiat
dirinya. Ya, diluar fakta bahwa dia tidak memiliki mulut—karena memang dia
tanaman hehehe—menurutku hal ini yang perlu diingat dari manusia. Manusia
seringkali menjadi kebalikan bawang putih.
Seringkali kita menemukan orang yang omongan yang sangat
hebat dan menyombongkan diri—seakan-akan dia orang yang paling hebat di muka
bumi. Berkata besar bahwa ia memang yang paling hebat! Dengan segala kelebihan
dan kebaikannya—manusia-manusia tersebut (termasuk kita ya gais) sering merasa
bahwa kita yang ‘Paling’ jika dibanding orang lain.
Paling benar, paling pintar, paling hebat, paling ini itu
dan sebagainya. Tapi tindakannya berkata sebaliknya. Yang penting ngomong dulu
kita paling hebat, palint pintar, paling benar. Bilang ini itu dulu. Buktinya?
Belum ada, sebab yang dibanggakan hanya prosesnya—bukan hasil akhirnya.
Di era medsos kali ini, mungkin ini ada kaitannya dengan
memamerkan dan mengatakan apa janji-janji kita kepada dunia. Mudah untuk
sharing tentang siapa ini kita, tapi sulit membuktikan kita ini apa
Aku berharap bahwa kita sebagai manusia belajar banyak dari
bawang putih. Diam dulu ketika proses sedang berlangsung, biarkan hasil akhir
yang berbicara. Bawang putih tidak berkata bahwa ia berkhasiat, ia hanya
membuktikan lewat hasil akhirnya.
Filosofi Bawang Putih #2: Tidaklah mungkin disukai semua
orang.
Dengan segala khasiatnya, tetap ada aja yang tidak suka.
Siapa? Dalam konteks dunia nyata, ada orang yang membenci bawang putih—saya
memiliki teman yang seperti itu, bahkan ayah saya juga agak geli-geli begitu
jika harus memakan bawang putih.
Dalam konteks dunia mitos pun ada yang benar-benar tidak
bisa hidup dengan bawang putih. Siapa? Vampir. Bawang putih dipercaya untuk
menetralisir vampir karena beberapa mitologi menyebut vampir adalah penyakit
yang disebabkan dari infeksi darah. Bawang putih dengan kandungan antibiotik
yang tinggi dipercaya akan menangkal vampir.
Dari sini saya belajar bahwa: sebaik-baiknya kita tidak akan
bisa disenangi semua orang. Bawang putih yang punya ratusan khasiat, punya banyak
sekali kelebihan—akan tetap tidak disenangi bagi mereka yang memang sejak awal tidak
senang dengan bawang putih!
Menariknya, bawang putih pun tidak berusaha disukai oleh
orang tersebut. Ia tetap menjadi diri sendiri, dan tidak mengubah dirinya
supaya orang lain menyukainya. Catat ini manusia! Hayo siapa nih yang insecure?
Filosofi Bawang Putih #3: Konsistensi membuahkan hasil.
Sejak dulu kala bawang putih sudah terkenal. Sampai sekarang
ia masih terkenal karena adanya konsistensi untuk mempertahankan dirinya
sendiri. Masyarakat kuno sudah mengenal bawang ini dan segala khasiatya. Nah
sekarang coba kita berpikir bersama—jika di tahun 1500 bawang putih mendadak berubah
dan ada khasiat yang hilang—mungkin dirinya tidak seterkenal sekarang. Karena
ada khasiat yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang sekarang.
Jaman sekarang manusia dihadapkan dengan kondisi untuk
tampil di depan sosmed. Beberapa dari kita cenderung menampilkan yang terbaik
dari diri kita dan menampilkan hal-hal yang mungkin—tidak sebenarnya—demi ‘likes’
dari postingan-postingan kita.
Ketika kita tampil tidak dengan apa-adanya, konsistensi akan
sulit untuk diraih. Orang-orang akan bingung: kita ini sebenarnya apa, siapa.
Konsistensi menandakan hadirnya jati diri. Aku adalah aku. Aku dan diriku bukanlah
hasil dari ekspektasi orang lain. Diriku ya diriku.
Menurutku, mengenal diri sendiri—dan bangga atas hal itu—adalah
hal yang diperlukan di era ini.
Jadi kesimpulannya...
Hasil dari challenge dan kalah game waktu itu justru
membuatku lebih mengenal bawang putih. Apa manfaat yang diberi dan dirasakan,
serta apa karakteristik bawang putih yang menurutku cukup menarik untuk
diaplikasikan dalam hidup manusia.
Tidak hanya mengenal bawang putih, aku justru semakin
memahami kalau manusia bisa belajar banyak dari hal-hal yang ada di sekitar.
Afterall, manusia diberi derajat yang lebih tinggi daripada
makhluk hidup lainnya. Namun, derajat ini justru menjadi tuntutan bagi kita
untuk terus belajar dari hal-hal yang ada di sekitar kita—bukan merendahkan
makhluk hidup lainnya.
Gimana keren banget gak? Dari hasil kalah challenge game
malah jadi sesuatu yang bermakna buatku. Ya inilah apa adanya, bukan ada
apanya. Di akhir kata, thankyou Warta Ubaya sudah buatku lebih kenal bawang
putih!
--sml. (Surabaya, 4 Desember 2021)