Membentuk tujuan hidup. Part 2: ANTI-Values.



Apa tujuan hidupku?

Itu pertanyaan yang muncul ke diriku beberapa hari terakhir, yang membuatku mulai menulis tentang ini. Menurutku, memang manusia harus punya tujuan. Visi kedepannya.

Manusia jangan sekadar hidup. Tapi harus tahu dia mau jalan kemana dan sebagai apa. Sehingga membahas soal tujuan bukan hanya berbicara tentang apa yang kita kerjakan sekarang. Tetapi hidupku ini (secara umum) mau jadi apa?

Singkatnya, melalui tulisan ini aku akan kembali lagi menceritakan proses yang sudah aku lalui. Ada tiga tips soal mencari tujuan hidup, namun topik kali ini akan kubagi menjadi tiga bagian supaya tidak over complicated.

Pada tulisan kali ini, akan kubagi cara pandang keduaku dalam menemukan tujuan hidup. Untuk yang pertama bisa cek disini, dan untuk yang ketiga bisa cek disini.

Jika pada tips pertama kemarin aku berbicara soal value, tips kedua aku akan berbicara soal ANTI-value.

 

ANTI-Value pertamaku.

Ini semua dimulai ketika aku tidak ingin menjadi kaya. Dalam arti, uang secukupnya saja, tidak perlu sampai yang berlebih.

Sehingga ANTI-Value pertamaku adalah: aku tidak ingin menjadi kaya materi. ANTI-Value kumaknai sebagai suatu hal yang ingin kamu hindari. Aku menghindari menjadi kaya materi.

Bukan karena aku kurang ambisi, bukan. Tapi karena aku mempelajari bahwa uang tidak bisa membeli segalanya. Ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Kata-kata tersebut mungkin akan memulai banyak sekali perdebatan, tapi memang makna itulah yang kumaknai sekarang. Aku hanya bercerita yang sejujurnya.

 

Kenapa aku bisa sampai berpikir seperti itu?

Dimulai ketika tahun 2017 aku mulai bekerja. Aku menabung dan mendapatkan jumlah uang yang besar dalam hidupku. Aku berambisi untuk segera menjadi kaya, membeli barang-barang bagus (laptop dan HP) terbaru / tercanggih masa itu.

2019 aku punya tabungan yang saat itu kurasa sangat banyak. Hingga saatnya papaku terdiagnosis kanker otak. Singkat cerita, uang yang kukumpulkan terasa tidak ada artinya karena dokter pun berkata, kalaupun kamu punya 1-2 miliar rupiah belum tentu papamu sembuh.

Padahal saat itu tabunganku belum mencapai 50 juta. Akhirnya Tuhan ijinkan papaku berpulang pada Juli 2019. Saat itu uang yang kumiliki terasa hampa.

Makan pun tidak ada lagi yang lezat. Barang-barang yang kumiliki tidak bisa menutup rasa sedihku. Uang yang kumiliki tidak bisa membeli waktu untuk memperpanjang nyawa ayahku sedetikpun.

Saat itulah aku merasa bahwa aku tidak perlu menjadi kaya. Kenapa? Karena saat proses mencari kekayaan, kita akan cenderung melupakan banyak hal-hal kecil yang bisa kita syukuri dan nikmati bersama.

Makan bersama. Menghabiskan waktu bersama. Berbagi ilmu.

Itulah yang mendasari keinginanku untuk selalu berbagi, menjadi seorang pendidik (educator). Di Indonesia, seorang pendidik (educator) bukanlah karir yang ideal karena memang tidak membawa banyak kekayaan.

 

Setiap orang harus punya ANTI-Value

Kita buat sebuah permisalan. Kamu ingin ke suatu tempat. Kamu akan punya beberapa opsi jalan yang bisa kamu lalui. Misal A, B, dan C. Itu yang aku maksud dengan value.

Sedangkan ANTI-Value berbicara dengan konteks yang terbalik, namun akan membawamu pada tujuan yang kamu inginkan.

Misal kamu ingin ke suatu tempat. Kamu punya beberapa opsi jalan, yakni A, B, dan C. Tapi di saat yang bersamaan, kamu juga harus memiliki opsi-opsi tertentu yang pasti kamu hindari. Misal: “Aku tidak akan lewat jalan D, E, F, karena pasti macet dan sedang ada perbaikan jalan.”

Itulah yang aku maknai sebagai ANTI-Values. Sebuah values yang jika dihindari, tidak akan membuat jalanmu berputar dan semakin lama mencapai tujuan.

 

Kesimpulan

Ini adalah tulisanku keduaku tentang tujuan hidup, yakni tentang ANTI-Values. Apa ANTI-Value pribadimu?

Semoga teman-teman bisa mendapatkan banyak hal terkait ini. Tulisan ini adalah bagian kedua dari tiga tulisan tentang tujuan hidup.

Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah, dan mari berdiskusi! Semoga kita dalam keadaan baik.


Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!