Meminjam waktu: Tentang usia dan makna hidup.


Living on a borrowed time. Meminjam waktu.

“(1) ...to continue living after a point at which you might easily have died; or (2) ...to continue to exist longer than expected” – Cambridge Dictionary (dictionary.cambridge.org)

Terjemahan: (1) ...berusaha hidup setelah kejadian / rentang waktu tertentu yang hampir merenggut nyawamu; atau (2) ...hidup lebih lama dari ekspektasi. – Kamus Cambridge.


Hanyalah angka.

Tulisan ini dibuat karena ragam emosi yang dirasakan pada hari ini. Marah, sedih, kesepian, bercampur baur jadi satu. Sambil merenung tiba-tiba teringat papaku yang sudah meninggal di usia kepala lima. Tepatnya 51 tahun. Saat aku menulis ini usiaku 26 tahun—dan aku berpikir—jikalau aku pamit di usia 51, maka aku memiliki sisa waktu 25 tahun lagi untuk melakukan hal-hal yang kunikmati.

“Ah syukurlah ya, masih bisa menikmati hidup lebih lama,” pikirku.

Tapi tiba-tiba aku teringat juga seorang teman yang baru saja kehilangan seorang ayah di usia 60-an, dan aku beprpikir lagi. “Yah berarti mungkin aku punya waktu hidup 35 tahun lagi, kan kepala enam,” kataku sambil mengamini.

Ada juga teman-temanku yang kehilangan seorang nenek di usia kepala delapan. Pikirku, orang-orang ini sungguh beruntung masih bisa hidup lebih lama. Lalu ku berdoa supaya bisa hidup lebih lama.

“Kalau aku meninggal di usia 80-an, berarti aku punya waktu 45-55 tahun lagi untuk hidup. Panjang sekali ya!” pikirku. Dan aku pun mendadak senang karena berarti aku bisa menikmati hidup ini jauh lebih lama.

Tapi beberapa waktu kemudian aku teringat berita tentang seorang selebgram dan suaminya yang meninggal setelah kecelakaan di jalan tol.

Usianya sangat muda, bahkan belum mencapai kepala tiga. “Berarti kalalu usiaku 26, bayangkan mungkin aku hanya punya waktu 4 tahun lagi untuk hidup,” ungkapku pada diriku sendiri.

Dan tiba-tiba aku keingat seorang teman yang kehilangan adiknya di usia yang sangat belia, lebih muda daripada aku. “Berarti aku beruntung bisa hidup beberapa tahun lebih lama.” Disini aku merasa bahwa hidup selama ini juga menjadi sesuatu yang patut kita rayakan.

Aku juga teringat kalau aku pernah mendapat kabar bahwa ada kenalanku yang bunuh diri. Usia mereka lebih muda dua tahun daripadaku. Kenyataan ini tentu menghantamku cukup keras karena kita tidak lepas dari ancaman depresi dan isu kesehatan mental lainnya.

Cek teman sekitarmu, banyak yang membutuhkan bantuan, dan anda mungkin menyelamatkan nyawa mereka hari ini.

Refleksi tentang waktu ini menghantamku cukup keras. Terlebih lagi ketika aku teringat beberapa hari lalu waktu aku mengunjungi ayahku di tempat peristirahatan terakhirnya.

Ada sebuah batu nisan dengan tulisan “Yahito (bukan nama sebenarnya)” Lahir th. 1998 – meninggal th. 2003. 5 tahun! Aku pun melihat batu nisan itu dengan termenung dan merefleksikan lagi, “Oh ya sebenarnya umur nggak ada yang tahu ya.”

Sekarang usiaku 26 tahun, dan kalau dibandingkan dengan Yahito, aku beruntung sudah mendapat "pinjaman waktu" selama 21 tahun. 21 tahun itu berkah yang nggak ternilai, dan setiap detiknya harus dimanfaatkan baik. Tapi apa yang sudah kulakukan selama 21 tahun ini?

Jika dibandingkan dengan Yahito—disaat aku menulis ini—aku hidup 21 tahun lebih lama. Aku ‘dipinjami’ waktu lebih lama 21 tahun. Bisa jadi ada kejadian yang membuatku merenggang nyawa dan meninggal di usia 6, 13, 17, 21, ataupun 24. Beruntung? Kita nggak pernah tahu. Tapi inilah maksudku bahwa kita hidup dengan waktu pinjaman, we’re living on a borrowed time. Sejatinya, umur hanyalah sebuah angka. 4, 14, 21, 26, 37, 45, 56, 63, 77, ataupun 89, hanyalah angka yang dipinjamkan ke kita—dan menjadi tanda betapa banyak kesempatan yang diberikan kepada kita.


Kita tidak punya kendali atas waktu.

“Life changes fast. Life changes in the instant. You sit down to dinner and life as you know it ends.” – Joan Didion, ‘The Year of Magical Thinking’.

Terjemahan: “Hidup berubah dengan cepat. Hidup berubah dengan instan. Kamu duduk untuk makan malam, dan tiba-tiba saja hidup berakhir.” – Joan Didion, dalam buku ‘The Year of Magical Thinking’

 

Cerita singkat Joan terjadi ketika ia dan suaminya hendak makan malam di suatu hari. Joan sibuk menyiapkan makanan dan tiba-tiba suaminya meninggal saat duduk di meja makan. Tiba-tiba saja ia duduk dan menelungkup. 5 detik kemudian, tidak ada. Joan tidak percaya. Petugas medis menyatakan bahwa suaminya meninggal karena serangan jantung.

Dalam perenungannya dan kesedihannya, Joan menulis buku “The Year of Magical Thinking”. Di tahun yang sama, Joan kehilangan anaknya. Dua kejadian ini yang menciptakan kata-kata yang mendalam dari Joan Didion.

Hal ini tentunya dipahami dengan benar bagi mereka yang kehilangan, mereka yang berduka, mereka yang bersedih. Mungkin anda mendengar info ini dari sebuah telepon, dan anda bergegas pulang dengan pesawat terbang. Mungkin anda melihat kerabat anda yang sedang sakit, dan anda pelan-pelan melihat denyut nadi tersebut hilang di depan mata anda. Mungkin anda mendengar kabar dari media massa tentang kecelakaan tragis. Mungkin anda tidak pernah menyangka. Dalam sekejap, lalu mereka pamit. Selamanya.

Menghadapi kejadian kematian tersebut, bahasa duka yang sama tercipta. Bahasa ini terukir dalam hati kita masing-masing.

Cerita ini tentunya menjadi pukulan telak bagi orang muda seperti saya. Saya merasa bahwa saya masih punya waktu! Karena itu seringkali kita masih bermalas-malasan, “ah besok saja” “kulanjutkan esok hari” “next time saja ya”. Kita merasa masih punya kendali atas waktu. Padahal? Ingat cerita tentang Yahito, dan kisah-kisah lain yang saya tulis di awal—kita tidak pernah tahu kapan waktu ini diambil. Itu adalah kenyataan.

Mungkin dari beberapa tulisan yang saya tulis, tidak semua orang setuju. Namun semua orang pasti setuju dengan kalimat berikut ini.

“Semua orang pasti akan mati. Tidak ada orang yang hidup selamanya.”

Kita orang muda tidak bisa menghindari fakta bahwa kita akan tua dan mati. Bahkan kita bisa mati tanpa harus meraih usia tua. Hanya saja kita merasa probabilitas kita untuk mati lebih kecil karena kita merasa sehat—dan memang pada umumnya daya tahan tubuh kita lebih kuat daripada orang berumur—tapi siapakah yang bisa menjamin waktu?

Tidak ada yang tahu. Yang penting kita siapkan alarm karena beriman bahwa besok kita akan tetap bangun. Aku paham kalau hal ini menyeramkan, tapi ini realita. Ketika kita menerima dan memahami ini, perlahan hati kita akan membaik. Dan memiliki pemaknaan dan pemahaman yang berbeda tentang hidup.

 

Yang penting sih hidup.

Opiniku, dengan segala kepastian bahwa kita pasti akan mati, sangatlah masuk akal untuk menikmati hidup yang sudah diberikan kepada kita. Seenak-enaknya, senggak enak-nggak enaknya, pasti ada sesuatu yang bisa kita nikmati atau pelajaran yang kita bisa ambil.

Semua emosi, pengalaman nggak enak, relasi yang rusak ataupun putus, rasa marah gara-gara hal-hal kecil ataupun idealisme yang nggak terwujud bukanlah hal penting ketika kita berada di akhir. Semua penderitaan kita nggak akan relevan ketika kita sudah berbaring di peti mati.

Saat berada di akhir, perbuatan baik kita saja yang akan dikenang sampai beberapa generasi, dan nama kita hanya dikenang oleh beberapa orang saja. Bahkan suara kita akan dilupakan—kecuali anda penyanyi.

Hal-hal yang bermuatan negatif tidak seharusnya menjadi sebuah pikiran yang bercokol terus-terusan. Ya memang life is suffering, dan kita tidak boleh menolak perasaan negatif—karena kita sebaiknya melihat emosi positif di balik perasaan negatif tersebut—saya tidak akan terlalu teknis, hal ini akan dibahas pada tulisan yang akan datang.

Tapi intinya, kita nggak akan pernah tahu kapan hidup akan berakhir dan apa yang ada di akhir sana. Tetapi aku yakin bahwa setiap orang yang sudah pergi pasti akan berpesan kepada yang dikasihi: “Tetaplah hidup dan berjuang.”

Orang terkasih yang sudah tiada pasti mengharapkan kita hidup bahagia dan sejahtera.

“...to live is an act of courage.” - Lucius Annaeus Seneca

Terjemahan: “...hidup adalah sebuah tindakan yang menunjukkan keberanani.” – Lucius Annaeus Seneca


Keberanian ini diperlukan. Keberanian untuk terus berjuang dan berjalan di tengah rasa kurang nyaman, dan rasa kurang bahagia. Berjuang di tengah siksaan hidup. Pandangan ini benar-benar meneguhkan hati saya. Perspektif yang benar-benar indah, karena membuatku semakin menyadari bahwa kita hidup dengan waktu ‘pinjaman’.

Nah waktu ‘pinjaman’ ini terserah kita mau digunakan untuk apa, apakah waktu pinjaman ini akan kita alokasikan kepada rasa takut, rasa marah, rasa malas kita? Atau waktu pinjaman ini kita alokasikan pada tujuan hidup, relasi yang bermakna, ataupun sekadar menikmati hidup? Tentu kita yang memilih.

Kita hidup dengan waktu yang telah dipinjamkan kepada kita. Sekarang tugas kita memanage, untuk apa ya waktu yang sudah dipinjamkan ke kita? Apakah waktu itu akan menjadi ‘pinjaman’ yang produktif dan menghasilkan banyak makna bagi diri sendiri ataupun orang lain? Ataupun waktu itu menjadi ‘pinjaman’ yang kita habiskan untuk hal-hal yang membuat kita tidak menikmati hidup?

 

Karena itu, mari mencari makna.

Singkatnya adalah, hidup ini cuman pinjaman. Ada yang diberi karunia usia lebih panjang dan diberi kesempatan untuk menikmati hidup lebih lama dibanding yang lain. Semua hal yang kita pikirkan dan deritakan sebenarnya tidak akan relevan ketika kita pergi.

Sehingga penting bagi kita untuk menikmati hidup se hidup mungkin. Jangan sekadar hidup. Carilah makna.