Kamu pasti pernah membenci orang bukan? Pasti dalam
pikiranmu ada setidaknya satu atau dua orang yang kamu sangat tidak suka.
Ketidaksukaan itu muncul dari cara menilai perilakunya, ataupun attitudenya dia
yang kurang menyenangkan. “Sudah kena batunya ratusan kali, kok tidak
berubah-berubah ya orang itu?”
Ketika hal tersebut terjadi, ada kemungkinan orang tersebut
tidak tahu. Bukan karena mereka kurang peka ataupun kurang pintar, namun mereka
terbiasa dengan realitas yang berbeda.
Saat aku bertemu dengan orang yang berperilaku jahat, aku
tidak langsung membencinya. Ini bukan karena saya maha penyabar ataupun maha
pengasih. Orang yang mengenalku dengan dekat pasti tahu kalau aku ini orang
yang sangat tidak sabaran ataupun mudah emosi melihat hal-hal yang ‘kurang
pintar’. Saya tidak sabar, hanya saja saya memahami satu kunci ini:
“Orang tersebut tidak tahu apa preferensimu. Mereka hanya
bertindak sesuai realitas mereka.”
Quotes ini yang membuat saya lebih sabar, dan tidak segera
emosi ketika menghadapi suatu masalah.
Preferensi dan realita.
Maksudnya bagaimana?
Contoh misal ketika kita berada di tempat umum, lalu
mendengar orang yang mendengarkan musik dengan loudspeaker. Sebagian besar dari
kita pasti membencinya. “Dih orang ini apa tidak bisa pakai headset ya?” Pasti
muncul pemikiran tersebut yang kemudian membuat kita kesal. Ujung-ujungnya apa?
Kita merasa orang tersebut membuat perjalanan kita menjadi tidak nyaman.
Nah darisitu kita bisa menggunakan potongan quotes pertama.
“Orang tersebut tidak tahu apa preferensimu.” Orang itu tidak jahat. Hanya saja
mungkin ia tidak tahu kalau kamu tidak suka musik yang dimainkan dengan luas.
Ia tidak tahu apa preferensimu.
Mungkin lalu kamu langsung merespon, “Lah kan memang sudah
etikanya tidak setel musik yang keras di tempat umum?” Nah, etika hanyalah
sebuah preferensi umum yang disepakati oleh orang banyak. Mungkin orang
tersebut belum tahu preferensimu.
Jikalau kamu memutuskan untuk menegur dan memaksa ia pakai
headset, bisa jadi kamu yang dianggap kurang menyenangkan baginya. Kenapa?
Karena seperti kamu memiliki preferensi, ia pun juga. Sehingga preferensi ini
ada.
Preferensi ia adalah realitanya.
Realita setiap orang berbeda.
Ketika kita melihat contoh diatas, dengan sederhana kita
melihat bahwa ada dua macam preferensi. 1) tidak menggunakan headset di tempat
umum, 2) harus menggunakan headset di tempat umum.
Dua preferensi tersebut dibentuk berdasarkan realita dirimu
sebagai seorang manusia. Katakanlah kamu berusia 25 tahun, dan orang itu
berusia 27 tahun. Berarti sebagai seorang manusia, kamu membawa pengalamanmu
sebanyak 25 tahun. Pengalamanmu itu membentuk realitamu, dan juga
preferensimu. Demikian juga sebaliknya.
Pengalaman ia selama 27 tahun membentuk realitanya dan juga preferensinya.
Pertanyaannya, “Duh ngapain kok ribet-ribet mikirin ini?”
Sederhana. Supaya ada satu kedamaian pikiranmu yang tidak
dipengaruhi oleh orang lain.
Misalnya, ketika aku sedang enak-enak menyetir dan dipotong
di jalan. Sebelum marah, ingatlah bahwa orang tersebut tidak membencimu. Bukan.
Mereka hanya hidup dalam realitasnya. Bisa jadi mereka ada suatu hal yang
urgent, misal dia kebelet buang air besar ataupun kucingnya mau melahirkan.
Tapi poinku adalah, pandangan ini akan membawa kita melihat
dunia dengan cara yang berbeda.
Jadi ketika lain kali pasangamu membuatmu tidak nyaman,
ingat. Dia tidak membencimu. Kemungkinan besar ia hidup dalam realitasnya
sendiri.
Ketika orang tuamu aneh dan tidak bisa dimengerti, ingat.
Orang tuamu tidak membencimu. Mereka hanya hidup dalam realitasnya sendiri.
Ketika ada orang lain melakukan hal yang kamu benci, ingat.
Ia tidak paham preferensimu. Ia hidup dalam realitasnya sendiri.
Tapi tetap saja kita harus bisa menjaga diri. Misalnya,
kalau ada yang catcalling ataupun meludahi pasangan / mama saya,
pastilah langsung saya hajar. Karena itu preferensiku.
Namun yang ingin kusampaikan adalah, ketika kita memiliki
mindset ini, kita akan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap setiap
perilaku orang lain.
Bahwa setiap orang punya realitanya sendiri.
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!