Tentang kata dan kuasanya.

Saat menulis ini, aku sedang berjalan melewati lorong sebuah RS Swasta di Surabaya. Bukan, disini aku bukan yang sakit. Aku sedang berjalan untuk menemui temanku yang sedang berjuang. Dalam perjalanan menuju ruangan untuk pertemuan kita, aku banyak melihat mereka yang letih lesu saat duduk menunggu.

Bisa jadi mereka duduk menunggu untuk kepastian penyakitnya, ataupun sekadar mengantri untuk bertemu dengan dokter. Tapi jika kusederhanakan lagi, yang mereka tunggu bukanlah orangnya, dokternya, kepastiannya. Tidak. Yang mereka tunggu adalah kata-katanya.

Ketika kita berada dalam persimpangan dan merasa ada kondisi yang kurang baik, saat kita ke dokter kita berharap akan mendapatkan kata-kata yang baik. “Bapak baik-baik saja.” Itu yang tentunya kita harapkan akan kita dengar. “Ibu tidak perlu khawatir.” Kata itulah yang tentunya ingin kita dengar.

Justru sebaliknya, jika ada kata-kata. “Bapak, maaf ada yang perlu kami diskusikan.” “Ibu, maaf ada berita yang perlu kami sampaikan.” Mendadak hati langsung copot, jantung seperti ingin jatuh ke lantai.

Ternyata, kata itu sepowerful itu.

 

Ya, kata itu powerful.

Dari contoh sederhana soal kehidupan RS tadi, kita melihat dan merasa bahwa interaksi tersebut tidak kita rasakan setiap hari. Jika bicara dalam konteks kesehatan, tidak setiap waktu kita menunggu kabar dokter, ataupun ingin melihat hasil medical check up kita.

Ya memang. Tapi dalam keseharian, berapa banyak kata-kata yang kita lontarkan? Berapa banyak percakapan yang terjadi dalam satu hari?

Di pasar, banyak sekali interaksi yang terjadi. Berapa kata yang diucapkan?

Kata-kata yang kita sampaikan tersebut memiliki makna dan arti yang beragam. Mungkin juga dengan maksud yang beragam. Tapi poinnya disini adalah, kata-kata itu sangat powerful, sehingga kita harus berhati-hati.

Jika anda adalah seorang guru, maka anda harus berhati-hati supaya kata tersebut tidak menghancurkan motivasi siswa.

Jika anda adalah seorang anak, maka harus berhati-hati jangan sampai kata tersebut membuat orang tua kita kecewa.

Jika anda adalah orang tua, maka harus berhati-hati. Jangan sampai ada kata yang kita keluarkan dan menyinggung, sehingga merusak hubungan orang tua-anak.

 

Karena itu, gunakan katamu dengan bijak.

Itu adalah mindset yang aku miliki saat bertemu dengan klien. Kata yang aku keluarkan sangatlah berhati-hati. Harus dengan pertimbangan yang matang. Tidak boleh asal bunyi.

Mengapa? Karena kata-kata yang tepat dapat membangun semangat, menyejukkan hati, dan menciptakan senyum.

Namun sebaliknya, kata-kata yang tidak tepat dapat meruntuhkan semangat, memanaskan hati, dan memunculkan amarah.

Karena itu sebelum berkata-kata, ada baiknya kita berpikir terlebih dahulu.

Kata-katamu itu powerful. Gunakan dengan hati-hati.

“Kind words can be short and easy to speak, but their echoes are truly endless.” - Mother Teresa

Translate: Kata-kata baik bisa jadi pendek dan mudah untuk diucapkan, namun dampaknya tidak terhitung.


Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!