Beberapa waktu terakhir aku teringat kata-kata yang diucapkan oleh ayahku sewaktu aku lulus pendidikanku di Psikologi.
“Yang berat itu bukan perjuangan meraihnya, tetapi tanggung
jawabnya,” jelasnya.
Aku pun bertanya, “Apa maksudnya?”
Ia pun lebih jauh lagi menjelaskan bahwa seiring berjalan
waktu, seorang lulusan Psikologi memiliki kata-kata yang luar biasa. Sebagai
seorang expert, lulusan Psikologi punya kekuatan dan bobot tertentu yang
dimiliki dari kata-katanya.
“Sehingga, hati-hati kalau bicara,” ungkap Papaku.
Aku pun kembali merenungkan hal itu kembali. Hati-hati kalau
bicara. Terlebih lagi sekarang aku sudah lulus S2, menjadi seorang Psikolog.
Ada bobot dan tanggung jawab yang kuberikan di setiap perkataan dan setiap saat
ku bicara.
“Aku harus memilih kata-kataku dengan hati-hati,” itu
komitmenku.
Sejujurnya, kita harus hati-hati setiap saat.
Kenapa?
Karena dalam setiap waktu, tanpa sadar, kata yang kita
sampaikan dapat melukai hati beberapa orang.
Kata-kata seperti: “Kamu kok sekarang gendutan ya?” “Eh,
kapan skripsimu selesai?” “Sudah nikah lama kok belum punya anak?” Adalah
contoh omongan basa basi masyarakat Indonesia yang tanpa sadar suka menyakiti
hati orang lain.
Kata-kata yang kita bicarakan, bisa jadi adalah perjuangan
ia yang sudah dia doakan sejak lama.
Jangan remehkan caramu berbicara. Caramu berbicara bisa
membangun ataupun mematahkan semangat orang lain.
Jika kita tidak berhati-hati, apa yang kita bicarakan bisa
kembali melanda hidup kita.
Karena itu kita harus bicara dengan lebih mindful
Kata-kata Socrates sering menjadi pedoman untuk diriku
supaya cara berbicara lebih mindful dan tidak mengganggu orang lain.
“Is it true; is it kind, or is it necessary?” – Socrates
Terjemahan: Apakah itu benar? Apakah itu baik? Apakah itu
diperlukan?
Itu adalah tiga tahap yang perlu kita tanyakan kepada diri
sendiri.
Sebelum kita berbicara ataupun berkomentar terhadap sesuatu,
ia harus melalui tiga gerbang ini.
Pertama, apakah itu benar?
Jangan-jangan yang kita sampaikan hanyalah persepsi pribadi
yang derajat kebenarannya tidak relevan untuk diri orang lain.
Jikalau memang itu bukanlah kebenaran mutlak, kita perlu
mencari tahu dulu ataupun mengobrol lebih detail sebelum memutuskan untuk
mengucapkan pendapat kita. Misal, terkait punya anak. Belum tentu semua orang
memang ingin punya anak.
Hal berbeda jika itu adalah kebenaran mutlak, misal kita
harus menjaga tubuh kita.
Kedua, apakah itu baik?
Seperti yang kusampaikan di atas. Apakah cara bicara kita
berpotensi menyakiti hati orang lain? Jangan-jangan itu adalah isu sensitif
yang perlu kita tanyakan secara perlahan.
Jangan-jangan ia yang kamu bilang ‘Gendut’ sudah berusaha
diet selama 70 hari terakhir ataupun jangan-jangan ia punya perjuangan melawan
Anorexia ataupun Bulimia.
Ketika kamu mengucapkan sesuatu, jangan sampai kamu
mendiskreditkan diri orang lain dan perjuangannya. Hati-hati.
Ketiga, apakah itu perlu?
Tidak semua solusi yang kita miliki bisa diterapkan ke semua masalah. Cek tulisanku yang lalu tentang paradoks palu yang menjelaskan tentang hal tersebut disini.
Tetapi jangan-jangan memang ia memilih
untuk tidak menerapkannya, karena memang ada pandangan pribadi.
Misal, memang ia tidak pingin punya anak. Sesederhana itu.
Jika memang ia tidak perlu, maka tidak perlu disampaikan.
Kesimpulan
Berhati-hatilah dalam berbicara.
Sederhananya begini, sangat tidak menyenangkan bila orang
berbicara kepadamu sesuka hatinya.
Berbicaralah dengan lebih mindful dan tidak sesuka hatimu.
Semoga tulisan ini bermanfaat ya!
Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari
berdiskusi!
Semoga kita dalam keadaan baik.
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!