“Aduh, aku trauma sama dia.”
“Jangan dekatin ke aku, aku trauma.”
Kamu mungkin pernah mendengar kata tersebut muncul dari
orang-orang yang ada di sekitar kita. Trauma.
Dilansir dari American Psychological Association, trauma
adalah sebuah respon emosi terhadap kejadian yang mengerikan, seperti
kecelakaan.
Setelah kejadian tersebut terjadi, umumnya orang akan
merasakan shock dan denial. Itu adalah respon pertama. Respon
selanjutnya bisa lebih beragam, mulai dari emosi yang tidak stabil, mengingat
kembali kejadian tersebut, bahkan hingga simptom fisik seperti mual ataupun pusing.
Bagiku, trauma sendiri adalah bentuk kejut. Akibat dari
sebuah kejadian yang menyayat jiwa kita. Trauma adalah sebuah luka yang belum
sembuh.
Trauma adalah sebuah bekas.
Ketika kita mengalami sebuah pengalaman yang traumatis, maka
respon emosional tersebut sangatlah wajar.
Namun, menjadi suatu catatan ketika seseorang kesulitan
untuk menjalankan hidupnya setelah dinamika tersebut.
Salah satu contoh paling terkenal adalah post traumatic
stress disorder (PTSD), yang seringkali menjangkit para tentara ataupun kaum
militer yang bertugas di lapangan.
Masa-masa perang bukanlah masa yang mudah. Kita tidak bisa
membayangkan kengerian apa saja yang mereka di medan perang.
Dalam beberapa kasus, para tentara penderita PTSD akan
terganggu terhadap suara keras seperti kembang api, ataupun popcorn. Karena
suara tersebut akan mengingatkan pada medan perang.
Hasilnya, jika tidak segera diobati hal ini dapat berdampak
pada kualitas hidup manusia dalam jangka panjang. Bahasa kerennya, orang bisa
parno setiap saat ataupun was-was.
Dalam hal ini, trauma adalah sebuah bekas dari masa lalu.
Sembuh dari trauma, apa bisa?
Manusia bisa mempermudah terjadinya proses penyembuhan.
Tetapi hal tersebut tetap harus berjalan dengan natural.
Argumenku sederhana. Sama seperti kita memiliki luka fisik
yang bisa kita lakukan adalah membersihkan lukanya, menutupnya dengan salep,
ataupun tindakan lain.
Kita bisa mempercepat penyembuhan trauma.
Tetapi sebaliknya, kita juga bisa memperlambat penyembuhan
trauma.
Bayangkan jika kamu jatuh dan lututmu terluka. Lukanya
besar, merah, dan berdarah. Tindakan-tindakan seperti duduk diam di rumah, akan
mempercepat penyembuhan lututmu.
Tetapi tindakan seperti berlari kencang akan memperlambat
penyembuhan lututmu, karena aktivitas fisik akan membuka luka tersebut kembali.
Sama seperti Trauma. Ia adalah sebuah bekas luka yang
menunggu kering.
Trauma sama seperti luka. Beberapa luka harus dikunjungi
setiap saat. Beberapa luka ada yang perlu dibiarkan begitu saja. Beberapa luka
ada yang butuh bantuan dokter / profesional. Beberapa luka ada yang bisa kita
tangani sendiri.
Hal tersebut akan berdampak pada kecepatan luka tersebut
sembuh. Pilihan ada dalam tangan pasien.
Kesimpulan
Trauma perlu dirawat. Iya.
Tetapi sama seperti luka fisik, ada beberapa luka fisik yang
akan membekas.
Tidak bisa sepenuhnya hilang.
Sehingga berusaha supaya benar-benar pulih 100% dari sebuah
trauma adalah hal yang mendekati mustahil.
Sama seperti judulku kali ini, yang harus kita coba adalah
hidup berdampingan dengan trauma. Dan menerima bahwa trauma membentuk diri kita
sekarang ini.
Menolak trauma, berarti sama halnya dengan menolak hal yang
pernah membentuk kita.
Tetapi, jikalau ada trauma yang membuatmu sulit tidur dan
memunculkan respon-respon yang mengganggu aktivitas sehari-hari, saatnya
mencari profesional.
Jangan ragu, carilah bantuan jika memang kamu rasa perlu.
Semoga tulisan ini bermanfaat ya!
Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari
berdiskusi!
Semoga kita dalam keadaan baik.
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas
Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda
sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan
sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun
“@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!