Kemarin aku libur menulis diluar keinginanku sendiri. Setelah di tulisan sebelumnya aku berkata bahwa sudah menulis 50 hari berturut-turut, besoknya langsung terputus. Hahaha.
Sebenarnya ada perasaan kecewa, kenapa harus terputus.
Tetapi aku mencoba merefleksikan, bahwa hal tersebut terjadi di luar
keinginanku.
Rutinitasku menulis biasanya seperti ini. Aku beraktivitas
seperti biasa, mengerjakan pekerjaanku. Sekitar jam 11 siang, aku mulai
merefleksikan apa yang terjadi hari ini ataupun kemarin. Hasil refleksi
tersebutlah yang biasanya menjadi tulisanku hari ini.
Kemarin benar-benar jadi hari yang diluar kendali seperti
biasanya.
Kemarin diluar kendali.
Biasanya, aku menyempatkan diri untuk menulis sekitar 1-2
jam, termasuk untuk riset, editing, mempertajam kata-kata, memilih foto yang
sesuai, desain postingan instagram, dan selesai. Tulisan siap diolah dan
diupload.
Tetapi kemarin terjadi banyak hal yang diluar kemampuanku.
Kemarin malam aku kelelahan dan benar-benar kurang fit sehingga bangun dalam
kondisi yang kurang optimal. Aku masih harus jemput mama ke gereja sekitar jam
11 siang. Makan siang, dan sebagainya, sampai rumah jam 1.
Sampai rumah kondisi sangat panas. Listrik dan air sedang
mati karena ada masalah di gardu dekat rumah. Baterai HP tinggal 15%, baterai
laptop tinggal 10%. Aku menyempatkan diri untuk menulis, tidak sempat. Sinyal
HP juga jelek karena listrik mati, sehingga banyak koneksi yang terganggu.
Komplit bukan?
Akhirnya aku memutuskan untuk tidur dan istirahat. Karena
kelelahan, aku tidur dari jam 13:00-17:30. Lampu baru menyala malam hari.
Sehingga aku sudah mempasrahkan hari itu dan fokus pada penyembuhanku.
Terkadang, semesta memang menyuruh kita istirahat. Inilah pertanda yang aku tangkap. Untuk beristirahat.
Tuhan memberi waktu yang terbaik untuk memulihkan diri.
Jika aku memaksa untuk menulis ataupun mengerjakan
pekerjaanku di hari Minggu tersebut, bisa jadi pagi ini aku bangun dengan sakit
yang lebih parah.
Pertanda.
Melihat pertanda sangatlah lekat dalam kehidupan manusia
Setelah aku mencoba merefleksikan lagi tentang kemarin,
pengalamanku kemarin sangat erat kaitannya dengan pertanda. Dan benar demikian.
Hidup berbicara tentang bagaimana kita membaca pertanda.
Aku jadi teringat “The Alchemist” karya Paulo Coelho. Disitu
ia menuliskan sebuah cerita yang menarik, berbicara tentang bagaimana pertanda
itu ada di sekitar kita.
Dan semakin ku menulis tulisan ini, aku semakin memperteguh
argumen. Bahwa hidup erat kaitannya dengan pertanda. Membaca pertanda adalah
sebuah skill.
Secara spiritual, hal ini juga memperkuat kepercayaanku
sebagai seorang Kristen. Aku sering membaca di Alkitab, dan menyimpulkan bahwa
pertanda adalah cara Tuhan berkomunikasi dengan umat-Nya. Sehingga dengan
membaca pertanda, kita akan bisa melihat apa yang Tuhan inginkan di setiap
aspek yang kita lihat.
Namun mengesampingkan spiritualitas untuk teman-temanku yang
Atheis, ataupun yang tidak percaya tentang higher power, membaca pertanda
sangatlah menguntungkan untuk kehidupan kita dan nenek moyang kita.
Menurut psikologi evolusi, ada beberapa perilaku yang
diturunkan. Perilaku tersebut seringkali diterjemahkan sebagai kepekaan kita
terhadap tanda ataupun intuisi. Sebab hal itulah yang akan membuat kita
survive.
Contoh sederhananya begini. Kita ingin pergi lalu kita
melihat cuaca yang mendung. Kita akan didorong untuk mempersiapkan diri untuk
menghadapi hujan. Membawa payung, membawa jas hujan, membawa sandal ganti. Dan
lain sebagainya.
Hal hal tersebut juga ada dalam aspek kehidupan yang lebih
besar. Secara ekonomi, geopolitik, sosial, dan lain-lain.
Kesimpulan
Melihat pertanda memang bukan hal yang saintifik. Beberapa
orang mungkin skeptis dan meragukan kebenarannya.
Tetapi dari alam bawah sadar yang terdalam, manusia erat
kaitannya dengan pertanda. Membaca pertanda akan memperbesar kemampuan kita
untuk survive.
Hal ini bisa kita bahas pada kemudian hari. Semoga tulisan
ini bermanfaat ya!
Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari
berdiskusi!
Semoga kita dalam keadaan baik.
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!