Beberapa waktu yang lalu, motorku sempat bermasalah. Aku tidak sengaja menghantam lubang yang sangat besar pada saat malam hari. Akhirnya, saat aku gunakan untuk menyetir, stang nya goyang.
Sebenarnya tidak terlalu goyang, tapi agak sedikit meleyot
ke kanan ataupun ke kiri saat digunakan. Kecil, tidak seberapa berasa jikalau
kamu tidak terbiasa merasakan.
Saat berjalan dengan kecepatan 40km/jam terkadang tidak
terasa, tetapi terkadang agak terasa.
Kemudian datanglah aku ke seorang mekanik. Menarik tersebut
bilang bahwa, “Oh ini salah ban luar nya mas.”
Aku pun awalnya tidak percaya, karena motor belum sampai
satu tahun. Umumnya ban luar motor diganti setiap 3-4 tahun sekali. Namun
karena dia menjelaskan dengan yakin, ya karena aku tidak mengerti akhirnya aku
sepakat mengganti ban luar, sekitar 300rb rupiah.
Singkat cerita, seperti yang sudah diprediksi. Masalah tetap
ada, kubawa ke mekanik lain, dan ternyata bagian dalam stang yang bermasalah.
Dia membenarkan, dan hanya 25rb rupiah saja.
Aku pun merefleksikan lagi, kenapa masnya kok menawarkan ban
padahal hanya perlu dikencangkan bagian stangnya.
Ternyata setelah coba kurenungkan, “Yaiyalah, kan orangnya
jualan ban. Pantas saja dia menawarkan ban!”
Dinamika solusi dan masalah.
“If the only tool you have is a hammer, you tend to see
every problem as a nail.” – Abraham Maslow
Translate: Jika alat yang kamu punya adalah palu, kamu akan
memiliki kecenderungan untuk melihat semua masalah sebagai paku.
Melalui cerita tersebut, aku tiba-tiba teringat apa kata
Bapak Maslow, tokoh Psikologi.
Manusia punya kecenderungan untuk melihat masalah
berdasarkan solusi apa yang dimiliki. Ini dinamika solusi dan masalah manusia.
Hal ini bisa berlaku dua arah.
Pertama, kita punya dulu solusinya. Karena kita memiliki
solusi, kita menganggap solusi tersebut sesuai untuk setiap masalah. Contoh
cerita mekanik tadi, ya karena dia jualan ban! Ya pantaslah ia menawarkan ganti
ban sebagai solusinya.
Kedua, kita punya masalahnya. Karena kita merasa masalah
tersebut urgent, harus segera diselesaikan, kita melihat apa solusi terdekat
yang kita miliki. Contoh cerita mekanik tadi, aku pernah mengalami hal itu
sebelumnya.
Dan di motorku yang sebelumnya aku pernah mengganti Ban dan
masalahnya selesai! Jadi aku melihat masalah tersebut sebagai patokan untuk
masalah selanjutnya.
Palu dan paku lainnya dalam hidup.
Hal tersebut perlu kita refleksikan lebih luas lagi. Coba
lihat dalam hidup kita masing-masing.
Seberapa banyak masalah yang penyelesaiannya dibatasi oleh
solusi yang kita punya?
Masalah kesehatan mental misalnya.
Di Indonesia, orang yang mengalami penyakit mental
seringkali mendapatkan saran: “Kamu sih kurang beribadah!” “Kamu sih kurang
olahraga.” “Jaga makanmu itu lho.”
Padahal sebuah masalah sangatlah kompleks.
Hanya kita memiliki ‘Palu’ yang sering kita gunakan
menghadapi masalah, bukan berarti masalah setiap orang adalah ‘Paku’ yang harus
kita hantam.
Masalah kesehatan mental sangatlah kompleks, secara biologis
dan psikologis. Penyembuhannya pun butuh pendekatan multilevel mulai dari
farmakologi, antropologi, ataupun psikopatologi.
Kesimpulannya
Setiap masalah kompleks. Kita tidak bisa menghakimi cara
seseorang menghadapi masalah hanya karena hal tersebut tidak sesuai dengan solusi
kita.
Setiap kali kamu punya masalah, coba refleksikan dengan
baik.
Jangan jangan ada solusi terbaik diluar ‘solusi-solusi’ yang
kamu miliki.
Semoga tulisan ini bermanfaat ya!
Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari
berdiskusi!
Semoga kita dalam keadaan baik.
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas
Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda
sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan
sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun
“@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!