Raport kehidupan, memang ada?


 

Hari ini saat aku mengisi kelas, aku menjelaskan ke mahasiswaku bahwa kehidupan setelah kuliah nanti akan sangat berbeda dibanding saat kuliah.

“Kenapa pak?”

Tanya mereka.

Aku pun memandu pertanyaannya. “Kalau menurutmu kenapa? Apa yang kamu terima di masa-masa kuliah, tetapi tidak ada di hidup setelah kuliah?”

Mereka pun kebingungan.

Aku pun memancing lagi.

“Gimana, apa menurutmu? Itulo yang biasa kamu terima di akhir semester.”

Mereka pun berpikir lagi.

“Oh itu, raport!”

Aku pun senang dan menjelaskan kepada mereka soal itu.

Bahwa kehidupan setelah kuliah, tidak ada yang namanya raport.

 

Raport sebagai bentuk evaluasi studi.

Di jamanku dulu, di Indonesia, ada yang namanya hari pembagian raport.

Ini diberikan menjelang akhir semester, dan menjadi ‘hari penghakiman’ bagi para pelajar di Indonesia.

Mengapa?

Karena pada dasarnya, raport ini adalah rangkuman evaluasi studi yang sudah kita lakukan selama satu semester.

Ada yang raportnya bagus, siap siap mendapatkan pujian ataupun menagih sebuah hadiah dari orang tua tercinta.

Ada yang raportnya biasa saja, pulang hari pembagian raport, senang, dan tenang. Yang penting lolos dari amukan orang tua. Yakan?

Ada yang raportnya jelek, siap siap mendapatkan sandal kehormatan yang menjadi senjata utama ibunda sambil mendengar teriakan. “Kok nilainya jelek!!?”

Di hari itu, banyak pejuang yang gugur. Ada yang tidak naik kelas, ada yang naik kelas.

Tapi pada intinya, raport ini adalah sebuah hal yang menegangkan. Raport juga menjadi sebuah petunjuk untuk membenahi diri.

 

Hidup tidak ada raport.

Realita tersebut aku kembalikan pada argumenku.

Dulu kita mengenal raport untuk mata kuliah “matematika”, “geografi”, ataupun “statistik bisnis”.

Tapi bagaimana raport dalam hidup?

Adakah raport pada mata kuliah “kedekatan dengan anak”, “relasi dengan orang tua”, ataupun “ketaatan dalam membayar pajak”?

Tidak ada. Bagaimana cara menilai raportnya? Bagaimana cara membeli evaluasi? Tidak ada orang lain yang bisa bertanggung jawab disitu.

Karena yang bertanggung jawab mengevaluasi dirimu adalah kamu.

Misalnya ketika kita membahas relasi dengan orang tua.

Berapa banyak orang yang membiarkan relasinya dengan orang tua berjalan begitu saja?

Sambil lalu. Just say hallo. Hanya sekadar menyapa di waktu-waktu tertentu tanpa ada obrolan lebih lanjut.

Lalu setelah ketika orang tua meninggal, banyak sekali penyesalan-penyesalan.

Perasaan tersebut adalah sebuah raport. Sebuah evaluasi dari perilaku yang kita lakukan semasa beliau hidup.

Itu baru satu mata kuliah, bagaimana dengan mata kuliah lainnya? Yang terkait dengan kesuksesan pribadimu seperti “membentuk personal branding diri”, “mencari pendapatan lain selain kerja”, ataupun “cita-citaku di masa depan”?

Bagaimana?

Bagaimana juga dengan mata kuliahmu yang terkait dengan relationship? Seperti: “memahami kebutuhan pasangan”, “mencari pasangan terbaik”, ataupun “cara memenangkan hati”?

Ataupun juga dengan mata kuliahmu terkait pekerjaan? Seperti: “menjalin relasi dalam kantor”, “membangun networking untuk masa depan”, ataupun “membangun karir”?

Bagaimana cara mendapatkan raport untuk mata kuliah tersebut?

 

Konklusinya: evaluasi diri.

Ya, tidak ada orang lain yang bertanggung jawab melakukan evaluasi diri selain dirimu.

Pada hidupmu pastilah ada aspek-aspek yang kamu kurang puas.

Tanyakan kepada dirimu sendiri, kamu sudah lakukan apa terkait itu?

Marilah bertumbuh, berkembang, marilah evaluasi diri sendiri.

Semoga tulisan ini bermanfaat ya!

Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari berdiskusi!

Semoga kita dalam keadaan baik.

 

Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!