Hidup adalah marathon, bukan sprint.



Hidup ini seperti marathon. Itu jadi titik puncak perenunganku hari ini.

Perenungan itu kusadari setelah beberapa waktu ini mama sempat masuk rumah sakit, dan rawat jalan di rumah.

Mama sempat bertanya: “Kapan ya kira-kira bisa sembuh?” Maka jawabanku, “Belum tahu, yang penting hari ini bisa kenyang dan semua kebutuhan terpenuhi.”

Dari jawaban tersebut pun aku merasa bahwa tujuannya bukan cepat-cepat sembuh, namun bisa survive hari ini.

Dan sama seperti semua aspek dalam hidup kita, tujuan hidup itu bukan untuk cepat-cepat menuju akhir. Namun untuk memastikan kita survive dalam prosesnya.

 

Sprint dan marathon.

Analogi yang kupakai saat ini adalah lari. Lari sedang digemari di Surabaya, Indonesia beberapa waktu terakhir.

Ada dua jenis lari. Sprint dan marathon.

Sprint berarti lari secepat mungkin dalam jarak yang sudah ditentukan. Misalnya, Usain Bolt. Ia terkenal karena di tahun 2009 berhasil memecahkan rekor lari 100 meter kurang dari 10 detik (tepatnya 9.58 detik).

Kecepatan 10 meter / detik. Itu adalah sprint.

Tetapi berbeda dengan marathon. Tujuan lari marathon adalah selesai. Bukan kecepatan. Dalam mindset yang kompetitif penting untuk menjadi cepat. Benar. Tetapi kecepatan akan menjadi masalah untuk jarak yang ekstrim.

Beberapa kegiatan Fun Run, ataupun lari-lari yang sedang populer mencapai 5 km. Peserta harus lari sejauh 5 km.

Namun beberapa perlombaan yang lebih serius, ditentukan jarak sekitar 40 km oleh International Amateur Athletic Federation (IAAF)—tepatnya 42,2 km.

Beberapa level yang lebih tinggi, disebut Ultramarathon yang berada di bawah naungan International Association of Ultrarunners (IAU), memiliki jarak hingga 100km, 200km, dan bahkan 320km. Beberapa kompetisi bahkan dilaksanakan lebih dari 1 hari.

Sehingga perbedaan mendasar antara marathon dan sprint hanya satu. Sprint fokus untuk memaksimalkan performa, marathon fokus untuk mempertahankan performa.

Sprint berlari secepat mungkin dengan cara memaksimalkan performa untuk durasi singkat.

Sementara marathon berlari sejauh mungkin, dengan cara mempertahankan performa untuk durasi yang ditentukan.

 

Hidup adalah marathon.

Dan inilah perenunganku. Hidup adalah marathon. Titik.

Tentunya sampai saat ini kita juga pasti bisa membayangkan. Contoh sederhana dalam koridor pendidikan.

Kita semua mengikuti pendidikan dasar, menengah, dan atas, selama 12 tahun. Tujuannya bukan untuk menyelesaikan secepat mungkin.

Memang ada yang cukup berprestasi menyelesaikan pendidikan awal dengan waktu yang lebih cepat. Betul. Tetapi pada umumnya, orang-orang menyelesaikan dalam jangka waktu yang sama.

Tujuannya untuk survive.

Aku beri konteks lain contohnya, penyakit.

Sama seperti menghadapi penyakit kronis, seperti alm. Papaku yang terkena kanker. Dan juga mamaku yang sekarang menghadapi diabetes.

Tujuannya bukan untuk sembuh secepat mungkin. Tetapi untuk bisa bertahan walaupun kondisi juga sulit.

Konteks lain contohnya, tentang eksistensi kita sendiri sebagai manusia.

Akhir dari hidup adalah mati. Betul? Tidak ada orang yang hidup selamanya.

Tetapi walaupun akhir hidup adalah mati, dalam prosesnya secara umum kita tidak berlomba-lomba siapa yang lebih cepat untuk mati.

Kita menikmati hidup tersebut. Kita bertahan di tengah semua kesulitan yang ada.

Karena hidup adalah marathon, bukan sprint.

 

Kesimpulan

Apapun yang sedang kamu hadapi, jangan memaksa dirimu memiliki performa sempurna setiap saat.

Sesekali berjalanlah cepat, sesekali berjalanlah dengan pace yang nyaman bagimu.

Karena sekali lagi, hidup adalah marathon. Bukan sprint.

Semoga tulisan ini bermanfaat ya!

Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari berdiskusi!

Semoga kita dalam keadaan baik.

 

Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!

 

Note

Maaf saya belum bisa menulis setiap hari karena sedang merawat mama yang sakit. Wish me luck!