Jangan selalu mengharapkan hasil yang instan.


Di era digital ini, kita terbiasa dengan hal-hal yang instan.

Tidak cukup mie instan, ada juga nasi instan. Tinggal diseduh, beberapa menit kemudian jadi nasi.

Sosial media, juga memperkenalkan format konten yang sifatnya instan.

Konten-konten sepanjang 15-30 detik yang bombastis, dengan nuansa-nuansa clickbait (ataupun istilah jaman sekarang, hook) yang membuat ratusan ribu orang ataupun jutaan orang mau melihatnya.

Instan.

Ingin nonton film apapun? Ada aplikasi untuk streaming. Instan. Tidak perlu menunggu jadwal seperti bioskop, bisa melihat apapun dan kapanpun.

Ingin menonton tanpa jeda iklan? Bisa bayar subscription per bulan untuk menghilangkan iklan. Instan. Nonton video tanpa jeda iklan.

Ingin cari pacar? Ada aplikasi matchmaking.

Dan lain sebagainya.

Argumenku kali ini, hampir seluruh aspek kita menjadi instan.

Lama kelamaan, seperti film-film sci-fi. Kita bisa membuat makanan apapun hanya dengan memasukkan bahan dan menunggu 15 detik.

 

Apakah hal ini buruk?

Ini pertanyaanku.

Fenomena yang kusebutkan di atas sudah menjadi suatu hal yang dirasakan banyak orang.

Semua orang merasakan yang namanya digitalisasi ataupun instanisasi aspek kehidupan.

Dulu aku pernah merasakan sulitnya mencari kendaraan umum. Di Indonesia, akses kendaraan umum tidak sebanyak dan sesering itu. Tidak semua jalan dilalui bis dalam kota. Ada angkutan umum, atau yang kita sebut bemo. Tapi tidak semua daerah dilewati. Kita harus berjalan kaki dengan ekstra. Ada taksi, tapi sangat mahal.

Sekarang, bisa pakai aplikasi dan kendaraan umum itulah yang mampir di depan rumah kita. Kita pun diantarkan sampai lokasi tujuan.

Dulu belanja barang harus ke toko. Ganti baju, memanaskan kendaraan, membuka pagar, keluarkan kendaraan, memakai jaket, menempuh perjalanan selama 15-20 menit, sampai sana pun harus berjalan kesana kemari untuk memilih, saat membayar pun antri.

Sekarang, di beberapa belahan dunia beli apapun bisa via online / aplikasi, dan barang langsung sampai di hari itu.

Instan bukan?

Iya.

Apakah ini hal baik?

Iya.

Instanisasi beberapa gaya hidup berarti memberi kita kemudahan apa yang bisa kita lakukan.

Mobilitas tinggi, produktivitas tinggi, hasil yang didapat juga tinggi.

Banyak orang yang langsung terkenal dan barang dagangannya laku banyak gara-gara sosial media.

Hanya karena satu postingan bisa mengubah nasibnya yang sudah berjalan selama beberapa tahun.

Sangat bisa? Bisa.

Tetapi harus berhati-hati.

 

Ada hal yang tidak bisa instan.

Itu argumen penutupku hari ini. Kita terbiasa mendapatkan hal-hal yang instan.

Tetapi reminderku, kita tidak boleh lupa bahwa ada hal-hal yang membutuhkan proses.

Proses apa yang dimaksud?

Ketika ada soal ujian yang sulit, teman-teman bisa menggunakan artificial intelligence untuk membantu mengeksplorasi jawaban.

Tetapi jawaban yang muncul dengan instan, tidak bisa membuat teman-teman paham dengan instan.

Pengetahuan, tidak bisa didapatkan dengan instan.

Badan yang bagus, juga tidak bisa didapatkan dengan instan. Butuh proses selama bertahun-tahun di gym.

Menanam padi, membutuhkan waktu tiga bulan. Proses kehamilan, membutuhkan waktu sembilan bulan.

Memahami orang lain, bukan hal instan. Karir yang cemerlang, bukan hal instan. Membangun bisnis yang sukses, bukan hal instan.

Intinya apa? Ada hal yang tidak bisa kita dapatkan dengan instan.

Instan itu baik, karena bisa mendapatkan dengan cepat.

Tetapi kita harus melatih psikologis kita, dan mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak instan.

 

Kesimpulan

Gaya hidup instan memberi kita kemudahan-kemudahan tertentu.

Hal ini membuat hidup kita semakin produktif dan mudah.

Jangan lupa, ada hal-hal yang membutuhkan proses. Tidak instan.

Semoga tulisan ini bermanfaat ya!

Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari berdiskusi!

Semoga kita dalam keadaan baik.

 

Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!