Pentingnya mengenal batas: Rainbow Valley Gunung Everest.



Hari ini sempat bertemu dengan senior masa-masaku berkuliah. Saat menceritakan hidupnya, ia menyebutkan bahwa ada peluang yang sedang dihadapi.

Tapi aku belajar banyak dari interaksi singkat tersebut. Karena ada satu hal unik yang menjadi pandangannya ketika menghadapi peluang.

Ia pun ditawari beberapa jabatan, namun tidak tertarik. Ia pun ditawari beberapa peluang, namun tidak diambil. Mengapa? Karena jawabannya sederhana, “Kayaknya sudah bukan waktuku lagi.”

Ia menjelaskan bahwa ia menolak semua peluang yang ditawarkan padanya, karena ia merasa sudah bukan lagi waktunya.

Singkatnya, ia membatasi diri.

 

Banyak yang tidak mengenal batas.

Itu argumenku saat ini. Mengenal batas, adalah sebuah privilege yang tidak dimiliki semua orang.

Ada orang-orang tertentu yang tidak memiliki batas. Sebab sense tentang ‘batas’ adalah hal yang langka.

Hal ini mengingatkanku tentang fenomena lembah pelangi atau “Rainbow Valley”, sebuah lokasi yang berada di Gunung Everest.

Sedikit penjelasan latar belakang. Dalam dunia pergunungan, kita seringkali memberi istilah-istilah untuk lokasi tertentu.

Misalnya: Gunung Semeru di pulau Jawa, Indonesia, terletak pada ketinggian 2.100 mdpl (meter di atas permukaan laut). Ada lokasi ranu pani, tanjakan cinta, ranu kumbolo, dan penamaan lainnya.

Nah, Rainbow Valley adalah salah satu daerah di gunung Everest. Gunung Everest sebagai gunung tertinggi yang ada di dunia, memiliki cuaca yang sangat ekstrim.

Rainbow Valley, adalah lokasi dekat puncak gunung Everest. Dan lokasi tersebut berisikan para pendaki-pendaki yang gugur dan meninggal. Karena berada dalam kondisi logistik yang sulit, biaya untuk menurunkan jasad pendaki sangatlah mahal. Tingkat kesulitannya juga sangat tinggi.

Sehingga, hingga saat ini banyak tubuh dan barang-barang mereka yang masih dibiarkan di lokasi tempat mereka meninggal.

Karena pakaian mereka berwarna warni mencolok, tempat tersebut dinamakan Rainbow Valley. Karena lembah tersebut memiliki warna yang beragam, yang berasal dari warna pakaian yang dipakai jasad tersebut.

Daerah tersebut memiliki risiko yang tinggi, sehingga “Rainbow Valley” juga dikenal sebagai “Death Zone”. Karena jikalau kita tidak berhati-hati, kita akan menjadi satu bagian yang mewarnai “Rainbow Valley” tersebut.

 

Itulah pentingnya mengenal batas.

Sebelumnya, turut berduka untuk mereka semua.

Tapi ini yang selalu menjadi pertanyaanku. Apa ya penyebab utama meninggal di gunung?

Aku pernah juga naik gunung, walau tidak setinggi Everest. Logistiknya pun juga tidak main-main.

Kita harus memperhatikan pakaian yang kita pakai dan barang-barang yang kita bawa (air, jaket, bahan makanan).

Ketika naik gunung, jika ada yang tidak kuat maka kita harus memutuskan untuk turun bersama.

Itu argumenku tentang batas. Mengenal kapan saatnya kita harus berhenti, dan menggunakan tenaga yang tersisa untuk turun.

Bahwa dalam situasi tertentu, ketika kita tidak mengenal batas akan berakibat fatal.

Ketika kita naik gunung, persiapan harus prima. Tujuan kita bukanlah selamat sampai puncak. Sampai puncak, adalah ½ perjalanan. Kenapa? Karena kita juga harus turun.

Jangan hanya karena kita mengejar peluang, kita melupakan kemampuan kita.

Sehingga jikalau kita memaksa diri menembus batas, kita tidak akan punya energi untuk turun.

Logikanya sederhana. Naik 4 jam juga membutuhkan waktu turun 4 jam. Sehingga kalau untuk naik saja kita sudah tidak kuat, apalagi jika kita turun.

Itulah yang menjadi argumenku tentang pentingnya mengenal batas.

 

Kesimpulan

Di hidup kita banyak sekali ‘gunung-gunung’ yang akan dilalui.

Terkadang, kita juga perlu mengenal batasan diri kita. Jangan sampai kita menantang diri kita melebihi apa yang bisa kita lakukan.

Jika kita berhasil, itu menjadi hal yang positif untuk diri. Jika belum berhasil, berhati-hatilah terhadap konsekuensinya.

Semoga tulisan ini bermanfaat ya!

Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari berdiskusi!

Semoga kita dalam keadaan baik.

 

Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!