Persepsi orang lain bukan urusan kita.


Semua orang pernah memiliki ketakutan terhadap persepsi orang lain. Aku pun juga pernah memiliki ketakutan tentang persepsi orang lain terhadap kita.

“Aduh, kalau aku gini, nanti dia mikir apa ya?”

“Aduh, nanti gimana dong di pandangannya?”

“Aduh, kalau misal nanti ku dianggap gini gimana dong ya?”

Ya jawabannya sederhana. Persepsi orang lain, bukan urusanmu.

Karena persepsi adalah suatu hal yang subyektif.

Persepsi orang lain terhadap dirimu dibentuk dari pengalaman mereka, dan juga pandangan subyektif mereka.

Mereka yang tidak suka, walaupun kamu memberi seisi dunia kepadanya, pasti mereka akan tetap tidak suka.

Mereka yang bisa menghargaimu, walaupun dalam kondisi kamu lemah dan tidak optimal, pastinya mereka juga akan tetap menghargaimu.

 

Persepsi = Cara pandang

Seorang individu bisa melihat orang yang sama dengan cara yang berbeda.

Ini berdasarkan keunikan masing-masing. Warna individu masing-masing yang tidak bisa kita kontrol.

Dalam sehari, seberapa banyak kamu bertemu dengan orang lain?

Pasti banyak, jikalau sudah bekerja bisa mencapai jumlah ratusan.

Lalu pertanyaannya kuganti, dalam satu hari, siapa orang yang paling banyak mendapatkan waktumu?

Kalau kamu sedang berkuliah dan tinggal bersama orang tua, berarti kemungkinan orang tua. Karena mereka bisa bertemu denganmu dan berinteraksi 1-2 jam sehari.

Note: Kalaupun kamu di rumah belum tentu bertemu dan berinteraksi. Disini jam yang kutulis berdasarkan perspektif jikalau kamu bertemu dan berinteraksi secara intensif. Ngobrol, makan bersama, dsbnya.

Kalau kamu sudah menikah, mungkin pasanganmu adalah yang paling banyak mendapatkan waktumu. Mungkin bisa 4-5 jam dalam sehari.

Intensitas pertemuan itulah yang menentukan cara pandang atau persepsi orang terhadapmu.

 

Keterbatasan persepsi.

Kamu merasa orang lain memiliki persepsi yang buruk terhadapmu? Tidak apa-apa.

Mengapa? Coba dilihat. Seberapa banyak waktu orang tersebut bertemu denganmu?

Jikalau memang hanya 1-2 jam sehari, tidak apa-apa. Kenapa? Karena bisa jadi saat pertemuanmu dengan mereka, kamu berada dalam suasana hati yang buruk.

Sehingga persepsi tersebut dibuat dalam waktu yang terbatas, dan memunculkan persepsi buruk.

Tenang.

Persepsi orang lain tidak mendefinisikan dirimu.

Hanya kamu yang 24 jam bersama dirimu, dan kamulah yang tahu.

Ini baru kita berbicara soal waktu, belum termasuk juga beberapa pandangan dan bias personal dari orang lain yang dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing, background budaya, etnisitas, strata sosial, dan sebagainya.

Interpretasi tentang persepsi sangatlah luas, dan ini diluar kontrolmu.

 

Persepsi itu dinamis.

Ya, judul tersebut sudah menjelaskan argumenku.

Persepsi mudah berubah seiring berjalannya waktu.

Pengembangan diri, hubungan yang berevolusi, serta pengalaman baru dapat mengubah persepsi orang terhadapmu.

Sehingga orang yang melihatmu sebagai orang jahat, tidak akan melihatmu seperti itu selamanya.

Justru sebaliknya, orang yang melihatmu sebagai orang baik, tidak akan melihatmu seperti itu selamanya.

Jadi, persepsi orang lain ada di luar kontrolmu.

Seiring berjalan waktu ketika orang tersebut menyempatkan waktu untuk mengenal dirimu, pasti ia akan memiliki beberapa pandangan yang berubah.

Misalnya, aku lihat beberapa temanku saat SD dan SMP sangatlah berbeda jika dibanding waktu sekarang.

Persepsiku terhadap orang lain berubah dan berkembang setiap waktu, demikian juga persepsi mereka atasku.

Bahkan persepsi juga bisa berubah jikalau ada cerita yang terungkap di kemudian hari.

 

Kesimpulan.

Persepsi orang lain tidak bisa kita kontrol. Sehingga, penting untuk tetap menjadi diri sendiri.

Jangan memasang topengmu saat berinteraksi dengan orang lain supaya memberi persepsi yang baik bagi mereka.

Hal itu akan membuatmu lelah, dan jika dilakukan dalam jangka waktu yang panjang akan berdampak pada kesehatan mentalmu.

Semoga tulisan ini bermanfaat ya!

Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari berdiskusi!

Semoga kita dalam keadaan baik.

 

Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!