Sesekali, berjalanlah pelan.


Di jaman sekarang ini, kita hidup di era “hustle culture”.

Yang seakan-akan menekankan bahwa kita harus berjalan cepat, akurat, dan selalu produktif setiap saat dan setiap detik.

Aku adalah orang yang juga terjangkit oleh pressure ini. Aku merasa bahwa kita harus produktif setiap saat. Harus punya pencapaian yang besar di setiap tikungan.

Mungkin karena pengaruh sosial media ya, ataupun karena pengaruh budaya digital yang sedang terbentuk.

Tapi aku merasa bahwa seakan-akan semua harus dilakukan dengan terburu-buru.

Cepat-cepat-cepat. Hasil-hasil-hasil. Itu yang kurasakan.

Jadi hari ini aku memaknai lebih lagi tentang ‘pelan’ itu tadi.

 

Analogi perjalanan.

Aku orang yang berangkat selalu terburu-buru.

Entah kenapa, aku suka tergesa-gesa. Aku menyetir kendaraan dengan cepat, namun juga tetap berhati-hati. Jika memungkinkan setiap ada jalan yang kosong dan minim hambatan, aku bisa mencapai 45-60 km/jam.

Tetapi mungkin banyak teman-teman merasa, bahwa untuk mereka yang suka berada di jalan ada mode auto-pilot yang sering kita pakai.

Kita melamun, tentang A B C, dan tidak terasa kita sudah sampai tujuan.

Sama seperti waktu pulang kerja. Karena sudah lelah bekerja seharian, kita melamun tentang A B C dan tidak terasa sudah sampai rumah.

Aku pernah mencoba sesekali berjalan dengan pelan. Maksimal 30-40 km/jam.

Dan aku merasa lebih sadar dan lebih bisa melihat lingkunganku.

Aku melihat banyak orang berjualan. Aku melihat ada seorang ayah yang mengantar anaknya.

Aku melihat ada orang beli es tebu di pinggiran jalan. Aku melihat ada orang mengangkat satu karung.

Aku melihat banyak hal.

Dari sini aku merasa aneh. Kenapa kok aku jarang melihat orang-orang itu sebelumnya ya?

Aku memperoleh kesimpulan bahwa ketika aku berjalan dengan cepat, aku cenderung fokus terhadap diriku sendiri.

Ketika aku berjalan lambat, aku mulai membagi fokusku kepada orang lain.

Sehingga dalam perjalanan pulang, aku tidak hanya fokus terhadap diriku saja. Namun juga berbagi fokus terhadap orang lain.

 

Tidak hanya tentang diri.

Itu kesimpulanku. Bahwa dalam proses kita hidup, jangan hanya memikirkan diri sendiri.

Jikalau kita terlalu cepat berjalan dengan tujuan kita, kita akan melihat banyak peluang membantu orang lain.

Aku tidak bilang bahwa kita harus membeli setiap makanan yang ada di pinggir jalan. Tidak. Namun saat kita berjalan cepat menuju tujuan, bahkan kita tidak sadar bahwa ada orang lain.

Hidup mereka, sama kompleksnya dengan hidup orang lain.

Ketika kita berjalan lebih pelan, kita akan melihat bahwa di sekitar kita banyak peluang.

Peluang untuk membantu orang lain, peluang untuk memberi makna terhadap hidup orang lain.

Karena jikalau kita berjalan dengan pelan, kita akan menyadari bahwa mereka ada.

Sehingga ketika kita berjalan, pulang, tidak hanya berfokus pada diri sendiri saja tetapi juga kepada orang lain.

Setidaknya jikalau kita tidak punya uang untuk membantu, marilah mendoakan sesuai kepercayaan kita masing-masing.

Lalu kenapa kok kita harus berfokus kepada orang lain?

Sayangnya, itu hal yang harus kamu jawab secara pribadi. Menurutku, ya karena manusia adalah makhluk sosial. Dan dalam kepercayaanku kita diberkati untuk menjadi berkat.

 

Kesimpulan

Jika berjalan terlalu cepat, kamu akan melupakan hal-hal disekitarmu.

Jika berjalan dengan lambat, kamu akan melihat bahwa di sekitarmu, ada kehidupan orang lain.

Mau membantu atau tidak? Terserah kamu. Aku hanya menawarkan sebuah perspektif yang kusadari di hari ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat ya!

Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari berdiskusi!

Semoga kita dalam keadaan baik.

 

Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!