Tentang bersyukur, cerita mendung dan panas.


Hari ini untuk pertama kalinya, cuaca mendung.

Di Surabaya, Indonesia, cuaca sudah panas tidak karu-karuan selama beberapa bulan terakhir. Baru saja mandi, proses siap-siap kerja, mau berangkat, badan sudah lengket dan basah semua.

Bergerak sedikit, langsung berkeringat. Jalan di luar, wajah dan tangan sudah terbakar sinar UV yang menyengat.

Panas sekali!

Lalu tiba-tiba mendung. “Ah senangnya,” pikirku. Aku pun langsung menikmati berjalan di cuaca mendung itu.

Lalu tiba-tiba aku kasihan sama matahari.

Padahal dia hanya menjadi dirinya sendiri, tapi banyak yang membenci jikalau kepanasan.

“Dasar manusia tidak bisa bersyukur,” pikirku.

Saat panas terik, kita merindukan hujan. Sebaliknya, saat hujan kita merindukan panas terik.

Dasar manusia. Nggak bisa kah kita bersyukur sedikit saja?

 

Jadilah hadir saat ini.

Kecenderungan manusia adalah membandingkan diri dan kondisinya sekarang, dengan kondisi ideal yang seharusnya bisa dia dapatkan.

Misal, ketika panas. Kita pun mengeluh dan berkata bahwa: “Seharusnya cuaca bisa lebih dingin.”

Justru sebaliknya, ketika cuaca terus menerus hujan. Kita pun mengeluh dan berkata bahwa: “Kenapa hujan terus? Motorku jadi kotor, cuaca dingin, sepatuku tidak kering-kering.”

Pada intinya, akan selalu ada perbandingan.

Hari ini panas, kita akan mengeluh.

Hari ini hujan, kita akan mengeluh.

Dan kondisi-kondisi lainnya.

Hebatnya, pandangan ini tidak hanya berlangsung pada cuaca saja.

Pekerjaan misalnya.

Kamu dapat pekerjaan A, tapi gaji kecil. Kamu mengeluh.

Kamu mendapat pekerjaan B, dengan gaji besar. Tetapi tempatnya jauh dari rumah. Kamu mengeluh.

Kamu mendapat pekerjaan C, dengan gaji besar dan tempat dekat dari rumah. Tetapi bosnya membuat kurang nyaman. Kamu mengeluh.

Pertanyaanku, kenapa?

Bukankah setiap kondisi adalah konsekuensi dari tindakan kita?

Jikalau kamu merasa kepanasan, kenapa tidak menyalakan kipas?

Jikalau kamu kedinginan, kenapa tidak menghangatkan diri dengan selimut?

Karena itu, tulisan ini adalah pengingat untuk diriku sendiri juga. Jangan kebanyakan mengeluh.

Bersyukurlah pada kondisi ini. Selalu ada hal yang bisa kita syukuri.

Jangan mengeluh bahwa kondisi hidup ini tidaklah ideal.

Nikmatilah kamu dan keadaanmu, dan jadilah ada dimanapun kamu berada.

Jangan membandingkan diri.

 

Sawang sinawang.

Kata-kata tersebut adalah peribahasa dalam bahasa Jawa, Indonesia, yang menggambarkan fenomena tersebut.

Artinya apa? Jangan membandingkan kehidupan pribadi dengan orang lain. Kita menganggap hidup orang lain lebih enak daripada hidup kita.

Kenapa? Karena selalu ada saja hal yang menjadi kesulitannya sendiri-sendiri.

Ada banyak sekali aspek dalam hidup kita. Finansial, relationship, pendidikan, dan lain sebagainya.

Kita mungkin pernah iri ataupun cemburu melihat orang yang ‘terkesan’ hebat.

Seakan-akan hidup orang tersebut jauh lebih hebat daripada hidup kita.

Tetapi kenyataanya apa?

Setiap orang memiliki masalahnya sendiri.

Hidup orang lain tak seindah yang kita lihat.

Luangkanlah waktumu untuk melihat cerita orang lain.

Kamu akan melihat banyak sekali hal yang bisa disyukuri.

Dan melihat banyak sekali peluang untuk membantu orang lain.

 

Kesimpulan

Dimanapun kamu berada, mungkin kamu merasa kondisimu kurang ideal.

Jangan langsung mengeluh dan membandingkan dengan hidup orang lain. Lihatlah hal yang bisa kamu syukuri.

Setelah itu, berjuang lagi. Hari besok akan lebih baik.

Semoga tulisan ini bermanfaat ya!

Jika ada pertanyaan, silahkan tulis di bawah dan mari berdiskusi!

Semoga kita dalam keadaan baik.

 

Copyright disclaimer

Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun “@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!