“Apakah saya normal?”
Beberapa hari pertanyaan itu yang terbesit di pikiranku.
Kira-kira aku normal nggak ya? Apakah ada something yang terjadi
pada mentalku?
Lalu akupun mencoba membaca kembali beberapa disorder
ataupun gangguan kejiwaan yang terjadi di beberapa fenomena belakangan ini.
Aku melihat beberapa berita, postingan content creator, dan
juga mengkaji kembali beberapa cerita yang kudapat dari orang-orang di
sekitarku.
Entah itu klien-klienku secara pribadi, ataupun mahasiswa
dan rekan-rekan yang suka berdiskusi denganku.
Lalu sering sekali aku mendengar istilah. “Iya, dia emang
ngga normal.” “Agak-agak ngga normal memang.”
Sebagai Psikolog, pertanyaan ini pun membuatku termenung
lagi.
Tetapi aku terpikir pertanyaan yang lebih mendasar.
Memangnya, apa sih arti ‘normal’?
Normal adalah sebuah ilusi.
“Normal is an illusion. What is normal for the spider is
chaos for the fly.” – Charles Addams
Terjemahan: Normal adalah sebuah ilusi, apa yang normal
untuk seekor laba-laba adalah kekacauan besar untuk seekor lalat.
Kartunis Amerika tersebut menjelaskan ilusi ‘normal’ dengan
baik.
Ia menjelaskan bahwa normal adalah sebuah perspektif.
Dan itulah masalah terbesar dalam dunia Psikologi.
Ketika kita berbicara kesehatan fisik, orang dapat merasakan
apa yang menjadi keluhannya.
Pinggang sakit, sakit kepala, sakit gigi, dapat kita
rasakan.
Tetapi untuk kesehatan mental, seringkali kita tidak
menyadari bahwa yang kita lakukan adalah salah.
Mengapa? Karena memang hal tersebut normal bagi kita.
Itulah tantangan dunia Psikologi.
Sulit mendefinisikan normal.
Di Indonesia dulu sempat ramai tentang cara memakan bubur.
Ada tim bubur tidak diaduk, ada tim bubur diaduk.
Untuk orang yang makan bubur dengan cara diaduk, mereka yang
makan bubur dengan tidak diaduk adalah orang yang aneh dan tidak normal.
Demikian pula sebaliknya.
Sehingga kalau kita berdebat tentang cara ‘normal’ memakan
bubur tentunya tidak akan ada habisnya.
Demikian pula kalau kita membahas tentang manusia ‘normal’,
perdebatan ini tentu lebih kompleks dari sekadar bubur.
Sehingga dalam perspektifku, ketika kita menjadi seorang
praktisi Psikologi harus berhati-hati tentang penggunaan kata ‘normal’.
Menurutku indikator terbaik untuk menentukan manusia yang
sehat bukan dari ‘normal’ atau tidaknya dia, tetapi dari seberapa adaptif
manusia tersebut.
Manusia harus adaptif.
Karena manusia harus adaptif, ataupun dapat menyesuaikan
diri seiring berjalannya waktu.
Dalam definisiku, manusia yang memiliki mental yang sehat
adalah mereka yang bisa beradaptasi.
Terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya, baik dari hal
yang bisa mereka kontrol ataupun yang tidak bisa mereka kontrol.
Sehingga untuk cek kesehatan mental anda setidaknya ada dua
hal yang harus anda tanyakan kepada diri sendiri.
“Apakah ada hal yang membuatku kesulitan beradaptasi pada
perubahan di sekitarku?”
“Apakah ada caraku beradaptasi yang membuat orang lain di
sekitarku kesulitan / tidak nyaman?”
Jika setidaknya terdapat jawaban iya pada salah satu
pertanyaan diatas, & juga ditambah perasaan tidak nyaman, maka carilah
bantuan profesional.
Disclaimer: Ini bukan pertanyaan valid yang menjamin anda
terkena permasalahan kesehatan mental, hanya salah satu cara untuk membuatmu
lebih aware terhadap kemungkinan kemungkinan tertentu.
Kesimpulan
Memaknai kata normal dan tidak normal haruslah berhati-hati,
terkhususnya ketika kita berbicara tentang kesehatan mental orang lain.
Mengapa? Karena setiap orang punya perspektifnya, setiap
orang punya caranya.
Jika ada ketidaknyamanan dalam dirimu ataupun orang-orang di
sekitarmu, jangan segan-segan mencari bantuan profesional jika memang
diperlukan.
Jika ada pertanyaan, silahkan sampaikan dan mari berdiskusi.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga kita dalam keadaan
baik.
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas
Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda
sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan
sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun
“@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!