Untuk setiap aksi, akan ada sebuah reaksi.
Itu yang masih kuingat dari sisa-sisa pengetahuanku tentang
Fisika.
Itu adalah hukum ketiga Sir Isaac Newton, seorang fisikawan
terkenal, tentang gaya / gerak.
Sederhananya begini, semisal kita mendorong sebuah barang
yang berat, kita tidak bisa langsung menggerakkannya sesuai mau kita.
Kita ambil posisi dulu, lalu ketika kita dorong perlahan-lahan
barang tersebut akan bergerak dan akan semakin cepat.
Berdasarkan Hukum ketiga Newton yang sudah disebutkan
diatas, itu adalah maksudnya aksi dan reaksi.
Ketika kita mendorong, barang tidak langsung mengikuti
dorongan kita. Tetapi barang tersebut memberi dorongan balik atas aksinya.
Ribet ya?
Iya saya juga pusing, karena itu saya jadi seorang Psikolog,
bukan Fisikawan. Hahahaha.
Tapi percaya atau tidak, aksi dan reaksi adalah hukum yang
universal.
Kita juga mendapatkan aksi psikologis.
Kamu berangkat kerja, ada orang yang memotong jalanmu. Itu
adalah aksi.
Kamu sampai di sekolah, ada yang mengerjaimu. Itu adalah
aksi.
Kamu di kampus dan teman-temanmu menghindarimu. Itu adalah
aksi.
Banyak sekali aksi-aksi yang terjadi dalam satu hari, dan
berdampak pada kondisi psikologis kita.
Ada aksi yang mungkin menyakitkan hati.
Ada aksi yang mungkin membuat kita kurang percaya diri.
Ada aksi yang mengucilkan dan mematahkan semangat kita.
Ada aksi yang membuat kita bingung.
Di kantor, di rumah, di sekolah.
Tentang percintaan, tentang kesehatan, tentang orang tua.
Banyak sekali.
Itulah keindahan menjadi seorang manusia.
Indra kita menjadi saksi, banyaknya hal-hal yang terjadi di
sekitar kita.
Dan hal tersebutlah yang memperkaya pengalaman kita.
Lalu bagaimana reaksimu?
Kita tidak bisa mengontrol apa yang terjadi pada kita.
Tetapi kita bisa mengontrol apa respon kita.
Bagaimana reaksi kita ketika menghadapi masalah?
Dalam dunia Psikologi kita mengenal yang namanya locus of
control. Terbagi menjadi internal dan eksternal.
Sederhananya, ini menjawab pertanyaan: “Kalau terjadi, ini
gara-gara siapa?”
Jikalau internal locus of control, kamu cenderung
menjadikan dirimu sebagai penyebab hal tersebut.
Kalau nilai jelek: “Ya karena aku kurang belajar.”
Kalau aku terlambat: “Ya karena aku belum berangkat lebih
awal.”
Kalau aku dimarahin orang tua: “Ya karena aku lupa
berkomunikasi dengan baik.”
Sebaliknya, external locus of control, hal-hal
diluarmu adalah penyebab semua hal bisa terjadi.
Kalau nilai jelek: “Salah soalnya lah sulit amat!” “Dosen
nggak ngajarin materinya.” “Duh mana gabisa nyontek lagi.”
Kalau aku terlambat: “Gara-gara orang itu lampu sein kanan
malah ke kiri!” “Semua gara-gara mobil abu-abu tadi yang motong.” “Lampu
merahnya tuh gila amat ya.”
Kalau aku dimarahin orang tua: “Duh, mereka kolot!” “Yah,
namanya juga ortu mana bisa paham?” “Old people guys.”
See? Terasa bedanya?
Kesimpulan.
Kita bisa memilih respon kita. Kalau kamu bermasalah dengan
orang tua, misalnya. Kamu bisa memilih menyalahkan mereka, atau menyalahkan
dirimu. Terserah.
Tetapi yang jelas, please be kind to yourself. Please also
be kind to your parents. It’s their first time living too.
Selamat berproses!
Jikalau ada kesulitan, jangan segan-segan mencari bantuan
profesional jika memang diperlukan.
Jika ada pertanyaan, silahkan sampaikan dan mari berdiskusi.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga kita dalam keadaan
baik.
Copyright disclaimer
Segala tulisan ini adalah buah pemikiran dari Samuel Dimas
Suryono (samueldim). Tulisan ini dapat diproduksi dalam bentuk yang berbeda
sesuai ijin dari penulis. Jika anda ingin memproduksi ulang, harap cantumkan
sumber yang jelas bahwa anda terinspirasi oleh “samueldim.com” ataupun
“@samueldim” ataupun “Samuel Dimas Suryono”. Terima kasih!